5. Mission gagal untuk ngedate menyebalkan

191K 8.2K 158
                                    

Ketika menangis...

Yang kamu butuhkan adalah bahu untuk tempatmu bersandar. Lantai untuk tempatmu bersujud dan Tuhan untuk tempatmu mengadu dan berdoa.

***

Dalam diam aku duduk memeluk diri sendiri. Dan merasakan seperti ada yang melempar tubuhku dengan sebongkah batu es. Sakit, perih, dingin.

Hampir saja para warga menghakimiku, membawaku ke kantor polisi dan menghajar wajahku hingga babak belur. Untungnya Arsen segera datang dan langsung melindungiku. Di balik punggung tegapnya itu, dia meminta para warga untuk tetap tenang dan menyadarkan bahwa aku ini wanita. Tolong jangan main hakim sendiri.

Untungnya, anak kecil itu masih hidup. Namun dia terluka parah hingga harus di bawa ke rumah sakit. Hampir berjam-jam kami duduk di kursi koridor rumah sakit ini, sambil menantikan kehadiran keluarganya.

"Mau minum sayang?"

Lihat, di saat seperti ini Arsen masih bisa menyebutku dengan panggilan sayang?

Aku menggeleng. Kepala menunduk, tanganku masih memeluk diri sendiri, sampai Arsen sadar bahwa tubuhku sudah menggigil. Campuran antara ketakutan dan kedinginan. Dia segera menyampirkan jaket di tubuhku, memeluk tubuhku erat, dan menarik kepalaku perlahan di atas bahunya. Dia tahu kalau aku sangat membutuhkan sandaran untuk tempatku menangis. Dan akhirnya isakan tangis pun meluncur bebas dari bibirku.

Ia berusaha menenangkanku. Lagi dan lagi. "Kita obati lukamu dulu, yuk?"

Tawarnya entah untuk yang ke berapa kalinya. Namun aku tetap menolak.

"Aku takut," ucapku dengan bibir begetar.

"Semuanya akan baik-baik aja, sayang. Anak itu akan selamat, oke?"

Suara derap kaki mulai berdatangan, mendekat. Suara teriakan seorang perempuan terdengar semakin jelas. Tubuhku tiba-tiba saja ditarik, diangkat dan digoncang keras.

"Kamu yang sudah menabrak anak saya?" wajah perempuan itu memerah akibat menangis. Ia melotot tajam, namun aku tak mampu membalas.

Aku ketakutan...

"Sudahla Bu, ini Cuma kecelakaan," ucap laki-laki di sebelahnya. Berusaha menenangkan.

"Kalau terjadi apa-apa dengan anak kita, bagaimana Pak?" wanita itu masih histeris.

"Bu, kami akan bertanggung jawab sepenuhnya." Arsen mulai bangkit dan menghampiri kami. Berusaha untuk menyingkirkan tubuhku dari tangan kasar wanita tersebut.

"Kamu pikir nyawa anak saya itu bisa diganti dengan uang? Kami emang keluarga yang kurang mampu, tapi kamu tidak bisa berbuat seenaknya. Saya akan laporin perempuan ini ke polisi! Dia harus masuk penjara!"

Bulu-bulu kudukku meremang. Lututku lemas. Rasanya aku ingin jatuh ke lantai dan meraung-raung. Tapi Arsen segera memegang kuat bahuku agar tidak terjatuh. Ia memintaku untuk duduk kembali ke kursi. Dengan patuh aku menurutinya.

"Bu, jangan seperti itu. Harusnya kita bersyukur karena mereka mau bertanggung jawab." Laki-laki itu kembali menenangkan sang wanita.

"Pak, Bu. Bisa kita bicara sebentar?"

Arsen mencoba meyakinkan suami istri itu berulang kali. Sampai mereka lemah dan akhirnya menuruti. Dari jauh aku melihat wajah Arsen tegang ketika berbicara dengan mereka. Hampir memakan waktu tiga puluh menit, sebelum akhirnya Arsen kembali berjalan menghampiriku. Duduk di sebelahku.

Sepasang suami istri tersebut kemudian duduk di kursi yang jaraknya cukup jauh dari kami. Meskipun begitu, aku masih bisa merasakan kalau wanita yang kuyakini adalah Ibu dari anak korban kecelakaan tadi, tengah menatapku penuh kebencian. Api menari-nari di matanya seolah ingin mencekikku hidup-hidup.

The Perfect Husband (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang