03.7 | The Direction to the Day after Tomorrow

2.5K 181 22
                                    

03.7
The Direction to the Day after Tomorrow*)



Wonosari. Gununungkidul.
Hari Perpisahan SMA.
Sekitar Juni 2009.


Hari hari yang panjang berlalu begitu cepat. Kepala-kepala yang tertunduk menekuni lembar-lembar soal yang lecek. Malam-malam yang panjang dan melelahkan berkutat dengan belajar. Rutinitas sekolah. Perasaan cemas dan khawatir mengenai hari esok. Perasaan takut akan hal hal yang diluar dari kendari diri. Setiap orang, pastinya mengharapkan yang terbaik setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan melakukan sebuah usaha untuk dapat melewati beberapa hari yang akan menentukan nasib sejuta umat, kelulusan SMA.

Lorong-lorong kelas beberapa hari lengang. Serangga enggan terbang. Udara terasa mencekat. Angin mati. Suara langkah kaki dengan mudah menggema di dalam kelas, pada lorong-lorong itu, terbawa sampai ke kelas-kelas lain. Suara kipas angin tua berputar memenuhi ruang kelas. Kepala-kepala tertunduk. Pensil-pensil arang tergores habis. Ujungnya diraut dan sampahnya berceceran di dalam laci. Beberapa bisik-bisik dan kode-kode muncul ketika langkah-langkah kaki patrol itu menjauh. Beberapa terjawab dengan cepat, beberapa tak terjawab bersamaan dengan langkah-langkah kaki yang menoleh.

Suasana mencekam itu berakhir cepat, beberapa hari saja. Kali ini, malam-malam diisi doa yang panjang. Isinya, pengharapan yang terbaik, masa depan yang menghampar luas. Tapi, mereka harus melewati kelulusan dengan mulus sebelum akhirnya berlari menuju masa depan.

Tapi kadang, Tuhan mungkin memang sedang bosan melihat kehidupan manusia yang membosankan. Mungkin, sesekali Ia ingin melihat kejadian yang menarik. Mungkin, Ia ingin merubah hidup seseorang. Mungkin.

Di hari pengumuman kelulusan, Anggit tak tidur semalaman. Kakeknya menyuruhnya untuk terjaga. Ia memilih untuk membaca buku daripada menonton acara televisi. Di rumah sebelah yang hanya berjarak beberapa meter, suara radio klenengan yang menyiarkan wayang mengiringi malam yang bergulir lambat.

Diujung malam, sekejap ia terlelap. Bukunya meluncur dan terjatuh diatas lantai berkarpet. Anggit tergagap mendengar suara buku. Sekejap tadi, ia melihat wajah temannya dengan ekspresi marah dan sedih dalam satu waktu. Anggit termenung. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat ekspresi itu tercetak di wajah orang itu.

Tama bangun lebih pagi. Ia terjaga begitu saja sehabis suara adzan dari masjid di dekat rumah eyangnya itu menyerukan panggilan bagi umat islam untuk menjalankan perintah shalat. Beberapa saat Tama termenung menatap langit-langin kamarnya. Matanya dengan mudah menyesuaikan kegelapan kamarnya. Cahaya lampu jalanan membias di gorden putih yang menutupi jendela kamar, masuk menyinari sebagian langit langit dan dinding.

Sekali itu dalam hidupnya ia merasakan perasaan yang aneh. Semesta yang hening membuatnya merasakan perasaan yang tak enak. Ia merasakan kecemasan yang aneh. Ia merasakan perasaan antisipasi yang sangat bergumul di dadanya. Tama tahu, sesuatu akan terjadi hari ini.

*

Hampir sebulan setelahnya.

"Tama, kamu kok melamun, nak?" Tanya seorang wanita yang terlihat begitu anggun menggunakan kebaya hitam dan jarit batik berpola bokor kencana bersanggul sederhana dengan sebuah hiasan rambut terbuat dari tembaga bersepuh emas. Wanita itu berdiri di ambang pintu kamar anaknya.

Tama melihat pantulan ibunya di dalam cermin. Ia tersenyum kecil kepada ibunya. Sejak tadi, Tama melamun ketika sedang membenarkan kebayanya di depan kaca. Ibunya masuk ke dalam kamar lalu mengambil kursi meja belajar Tama lalu memindahkannya ke belakang Tama. Tama duduk dalam diam sembari memandangi pantulan ia dan ibunya di dalam cermin.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang