Paracetamol menghentikan gerakan tangannya. Kepala si residen terangkat pelan. Matanya menyipit, menatap Vox_Nox berseragam SMA—atau Purbasari—dengan ekspresi tercengang yang lebih dalam daripada kejengkelan biasanya.

Paracetamol baru menyadari, rupanya ia bukan Vox_Nox. Bukan salahnya. Karena Paracetamol tidak bisa membedakan mana Vox_Nox dan mana Vox_Nox lainnya.

Paracetamol mengernyitkan dahi.

Purbasari?" ulang Paracetamol, suaranya disertai getaran rendah, nyaris seperti geraman tercekik. Ia berdiri terlalu cepat, menyebabkan beberapa serpihan batu asahan terlempar dari pahanya. Pisces Blade tetap tergenggam erat di kepalan tangannya, bilahnya masih basah oleh air asah dan memantulkan cahaya satelit Voyager II yang memancar dari langit.

Selama ini Paracetamol hanya melihat Purbasari di antara lorong gelap. Tidak dalam keadaan bertarung melawan monster. Maka, bar identitasnya, HP, dan MP-nya tak pernah muncul di atas kepalanya. Dan sekarang, setelah ia memanggil UI dengan gerakan tangan kasarnya, bar itu muncul begitu jelas.

Paracetamol membaca data yang terpampang, rahangnya mengeras.

'[Purbasari]

Username: Purbasari
Entity: AI Character
Class: Wildcard
ID: 9237838933
Region: Indonesia
Server: Sputnik
Level: 100

HP: 10.000
MP: 10.000
STR: 90
VIT: 90
DEX: 90
INT: 90
AGI: 70
LUK: 83

Ally: -
Lover: -
Guild: -'

"AI Character," desis Paracetamol, seperti mencicipi racun yang sudah ia tahu rasanya menjijikkan. "Kamu bukan Player."

Purbasari hanya mengangkat alis, tubuhnya sedikit memutar, seperti sedang menari setengah hati, menghindari seriusnya pembicaraan. Senyum cerah, senyum khas NPC yang terlalu manusiawi untuk disebut sekadar program, terbit di bibirnya. Ia tidak menatap Paracetamol. Ia memilih memalingkan wajah, menganggap reaksi buruk Paracetamol hanyalah angin lalu. Tidak pantas dihiraukan.

"Masalahnya apa?" Purbasari bertanya, ringan,

Paracetamol mengatupkan gigi. "Wajah kalian ... sama."

Purbasari memutar kepala cepat, sedikit terkejut, kemudian tertawa pendek, entah karena apa.

"Sama? Siapa? Antara aku dan ... kakak?" katanya sambil menunjuk pipinya sendiri. "Tidak. Aku lebih cantik dari Purbararang, bagi orang yang mengerti estetika."

Senyum itu menggantung, manis, tapi penuh tantangan.

Paracetamol diam. Ia menatap Purbasari lama—wajahnya, bentuk matanya, garis rahangnya. Semua fitur tubuhnya tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan milik Vox_Nox. Tidak bagi orang yang terbiasa membedah tubuh manusia dan menilai wajah berdasarkan anatomi, bukan estetika. Paracetamol bukan dokter bedah plastik. Paracetamol bahkan belum dokter penuh; baru residen bedah, dua tahun lagi baru akan lulus.

Tidak ada perbedaan. Tidak. Satu pun.

Koenrad, dari tempatnya duduk di bawah pohon ceri, mengamati keduanya. Pandangannya jernih, tapi penuh kehati-hatian. Ia menengadah sedikit, menyisir wajah kedua sosok itu, dan menilai.

Dari sudut pandang Koenrad, Paracetamol bukan sekadar ketus. Ia seperti pria yang sedang berjuang agar ia dapat membenci seluruh dunia, dan gagal karena dunia terlalu luas untuk dibenci seorang diri.

"AI Character," ulang Koenrad, sebelum ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seperti seorang ayah yang mencoba bicara jujur pada anak tetangganya. "Apa keluargamu menjual mayatmu ke pengembang Protokol REQUIEM?"

The REQUIEM Protocol: A Game that Ended the WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang