Kenangan itu mengendap seperti cahaya sore yang pelan-pelan meresap ke kulit. Dan entah bagaimana, saat aku kini duduk di dermaga dengan kaki menjuntai di atas air yang tenang, memorinya kembali muncul, bukan sebagai luka, bukan sebagai tarik-ulur masa lalu, tapi sebagai sesuatu yang melingkari dada dengan kehangatan yang tidak lagi menuntut apa pun.
Seolah-olah waktu ingin menunjukkan bahwa aku sudah menempuh jarak yang tak kusadari. Bahwa rasa berat yang dulu selalu menahan langkahku kini tinggal sebagai bayangan yang tak lagi mengikutiku.
“Aku bangga sama Kakak,” suara Samuel memecah pikiranku.
Aku menoleh. Ia berdiri sambil membawa piring berisi ikan bakar dan sambal yang warnanya terlalu merah untuk dianggap bersahabat.
“Bangga kenapa?” tanyaku.
“Karena kakak berani pergi dari tempat yang bikin kakak hancur,” katanya, seolah itu fakta yang bisa ditemukan di buku geografi.
Aku menghela napas. “Aku nggak sekuat itu, Sam.”
“Kalau bukan kuat, itu namanya apa?”
“Itu namanya… memilih diriku sendiri.”
Samuel mengangguk kecil, lalu menyerahkan piring. “Ya. Dan aku senang kakak memilih itu.”
Kami makan ikan bakar di pinggir dermaga. Kaki kami sesekali tersentuh ombak kecil. Air garam mengering di kulit. Ada suara gitar dari ujung pantai. Ada angin yang membawa aroma arang dan jeruk limau.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa kehilangan apa pun.
Aku hanya merasa… pulang.
Pulang ke tubuhku sendiri. Pulang ke keputusan yang tidak lagi kubenci meski dulu menyakitkan. Pulang ke keluargaku. Pulang ke si kecil yang menungguku di Jogja, seseorang yang mungkin tidak tahu apa pun tentang pertarungan masa lalu, tapi sudah cukup untuk membuatku tetap ingin hidup.
Hari ini, laut tidak lagi terasa seperti pengingat dari apa yang hilang. Laut justru terasa seperti bukti bahwa beberapa kehilangan memang perlu untuk memberi ruang pada hal-hal yang datang dengan tenang, tanpa paksaan. Tanpa drama. Tanpa harus menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar memilihku.
Aku memeluk lututku. Senyumku datang begitu saja.
...
Hari merayap perlahan. Sementara suara burung camar terdengar semakin jauh. Langit mulai memudar menjadi warna keemasan yang hangat.
“Besok pulang ke Jogja jam berapa?” tanyaku sambil menyimpan hasil edit.
Samuel mengangkat bahu. “Penerbangan kita sore. Papa sudah tanya. Katanya Mama sudah siap bikin ayam kecap kesukaan kak Sena.”
Aku mengangguk. Ada sesuatu yang menghangat di dadaku.
“Dan katanya,” Samuel menelan tawa, “si kecil itu makin pintar berdiri.”
Aku berhenti bernapas sejenak.
“Sudah bisa berdiri?” tanyaku pelan.
“Bisa. Berdirinya goyah memang. Tapi kalau kamu yang gendong, dia langsung diem. Kamu favoritnya.”
“Aku memang favorit semua orang,” gumamku sambil menutup laptop.
Samuel mendesah dramatis. “Ini alasan kenapa Kakak makin menyebalkan tiap tahun.”
Aku menatap laut. “Karena hidupku jauh lebih tenang sekarang.”
Samuel menatapku lama.
“Kak.”
YOU ARE READING
Unscripted
RomanceKupikir hidup bisa direvisi seperti naskah berita. Sampai dia datang-anak magang yang mengacak-acak segmen hidupku yang tertata. Kami bukan berita utama. Kami bukan kisah untuk disiarkan. Kami adalah cinta yang tak pernah ditulis. Unscripted.
EPILOG
Start from the beginning
