Seharusnya Arya juga sadar kalau dia tidak berhak melarang Nala. Toh, hubungan mereka masih belum bergerak lebih dari teman. Jadi Nala masih bebas.
"Gue boleh nanya nggak, La? Tapi kalo lo nggak mau jawab, nggak apa-apa. Gue nggak terlalu peduli juga sebenernya, cuma penasaran aja." Ucap Arya setelah mengelap tangannya dengan tissue basah. Burgernya sudah tandas tak bersisa.
"Apa?" Tanya Nala.
Arya berdeham sebentar. "Dulu pas sama Dewa, lo kayak gini juga, nggak?"
Nala sedikit berjengit di tempatnya. Kali ini betulan kaget karena pertanyaan Arya yang di luar prediksi BMKG.
"Tau dari mana soal gue sama Mas Dewa?"
Arya nyengir. Tanpa dijawab pun Arya yakin Nala sudah bisa menebak jawabannya. Siapa lagi informan yang bisa Arya percaya selain orang terdekat Nala, Rissa. Apalagi teman Nala itu lemah sekali dengan sogokan jajanan. Arya cukup mengirimkan cemilan atau jajanan yang sedang hits, aliran informasi langsung berdatangan padanya tanpa terbendung.
"Gue nggak ada apa-apa sama Mas Dewa," ucap Nala kemudian. "Pernah deket dulu, tapi sekarang udah biasa aja."
"Nggak canggung, La?"
"Canggung?" Nala mengulangi pertanyaan Arya. "Kalo canggung, gue nggak akan bisa kerja profesional bareng dia, Ar. Dia atasan gue, dan kami sering ngerjain project bareng. Canggung jelas bukan jalan yang tepat buat kami pilih."
Nala benar. Profesionalitas di atas segalanya. Pekerjaan tetap menjadi fokus utama. Bersama Dewa, Nala memang pernah sempat memiliki cerita sendiri. Tapi seiring dengan Nala yang memilih untuk mengakhirinya, bahkan sebelum sempat dimulai, hubungan mereka kembali berubah menjadi rekan kerja seperti sebelumnya.
"Nggak pernah jalan berdua kayak gini?"
Mata Nala menyipit, berpikir. "Jalan berdua ya sering, kalo lagi ngurus acara. Lo sebenernya mau nanya apaan, sih? Nggak mungkin cuma kepo soal gue sama Mas Dewa doang?"
Kalau soal kepekaan, Nala memang juaranya. Dia seperti bisa membaca pikiran dan emosi orang. Masa lalunya yang kelam rupanya membuatnya tanpa sadar menjadi lebih sensitif terhadap keadaan. Bahkan perubahan kecil di raut wajah lawan bicaranya sudah bisa menggiringnya ke berbagai kemungkinan yang bisa dia analisis sendiri.
Arya menyugar rambutnya sesaat sebelum lanjut bicara. Rambutnya yang kecoklatan itu sedikit berkilauan ditimpa sorot lampu yang berasal dari bangunan restoran di depan mereka.
"Gue tau lo mungkin ngerasa kurang nyaman sama sikap gue, La. Mungkin gue yang terlalu terang-terangan, bilang mau ngejar lo. Tapi gue nggak mau itu malah jadi ngebebanin lo. Gue denger dari Icha kalo lo nggak makan soto yang gue kirim tadi siang. Di situ gue jadi mikir, kalo lo pasti nggak nyaman sama approach gue yang mungkin berlebihan."
"Bentar.. bentar.. tadi lo bilang siapa? Icha?"
Arya mengangkat alisnya bingung. "Iya, Icha. Temen lo."
"Rissa, maksud lo?" Arya mengangguk. "Sejak kapan lo manggil dia Icha?"
"Hah?" Arya tanpa sadar menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. "Sejak kapan, ya? Sejak gue ketemu dia di depan kosan lo, kalo nggak salah." Arya memberi sedikit jeda saat mengingat pertemuan pertamanya dengan Rissa.
Nala berdecih sebal tanpa sadar. Memunculkan berbagai spekulasi di kepala Arya. Bingung sendiri karena bisa-bisanya fokus Nala justru berpusat ke panggilan Arya untuk Rissa. Padahal inti dari omongannya sama sekali bukan itu.
"Biasanya yang manggil Icha cuma orang yang deket sama dia aja."
Dari sini, Arya mulai mengerti. "Yaa.. terus?"
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
Don't Move, I'll Come To You
Start from the beginning
