Mamah mengusap pundaknya lembut. "Pasti. Bismillah, semoga kamu nyaman di tempat baru."

Ayah mengacungkan dua jempol. "Kalo udah jadi anak SMP harus pede dong."

Natasha tersenyum gugup sebelum melangkah keluar rumah.

Di sepanjang jalan, suasana terasa berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baliho pengumuman protokol kesehatan masih terpasang. Tahun itu, virus corona belum benar-benar pergi, jadi masker menjadi aksesori wajib yang menutupi hampir semua ekspresi.

Sesampainya di sekolah, barisan panjang siswa baru sudah mengular di depan gerbang. Semua memakai masker, menjaga jarak, dan menunggu giliran mencuci tangan sebelum masuk.

"Silakan cuci tangan dulu. Jangan berdesakan, ya," suara kakak OSIS yang ganteng dan cantik mengarahkan dari depan.

Natasha mengangguk dan menggosok tangannya hati-hati dengan sabun di bawah air mengalir. Setelah selesai, ia mengikuti barisan lain menuju kelas sesuai kelompok MPLS yang tertera di kartu nama.

Kelas 7H. Itu tempatnya.

Ia melangkah masuk dan langsung mencari tempat duduk paling aman menurutnya: barisan paling belakang. Kursi yang ia pilih masih kosong. Beberapa detik kemudian, seorang siswi lain datang dan duduk di kursi sebelahnya. Rambutnya dikuncir sederhana. Gerakannya pelan. Tidak banyak suara.

Natasha melirik.

"Eh... kamu duduk sini juga?" tanyanya sambil merapikan masker.

Siswi itu mengangguk kecil. "Iya."

"Oh... nama kamu siapa?" tanya Natasha lagi mencoba mencairkan suasana.

"April," jawabnya pendek, suara sangat pelan.

Natasya tersenyum di balik masker. "Aku Natasha. Dari SD Kiaracondong. Kamu dari mana?"

April memainkan ujung label nama di dadanya. "Aku dari SD Sukarapih... Maaf kalau aku banyak diam. Aku agak susah ngobrol sama orang baru."

"Tenang aja," Natasha menepuk-nepuk udara seolah ingin memastikan suasana aman, "aku juga kadang gitu, kok."

April mengangguk lagi. Kali ini, sedikit lebih santai.

Obrolan kecil Natasha dan April terhenti ketika pintu kelas terbuka lebar.

Dua kakak OSIS masuk dengan langkah pasti. Seragam putih biru mereka tampak rapi, dengan atribut OSIS menempel jelas di lengan. Spontan seluruh siswa berdiri tegak, merapikan posisi duduk dan masker. Suasana kelas mendadak hening seperti tombol mute ditekan.

Salah satu kakak OSIS yang berkacamata melangkah ke depan. Suaranya tegas tapi ramah.

"Halo semuanya! Selamat datang di SMP NUSANTARA."
Ia mengangguk kecil lalu melanjutkan, "Kami adalah kakak OSIS yang akan mendampingi kelas kalian selama MPLS."

Kakak OSIS satunya lagi, yang jauh lebih tinggi dengan gaya agak tengil tapi karismatik, melanjutkan sambil tersenyum, "Semoga kalian betah ya selama MPLS. Jangan tegang. Kita di sini bakal belajar bareng, seru-seruan bareng."

Beberapa siswa saling pandang. Ada yang senyum malu-malu, ada yang justru makin tegang.

"Mungkin kita mulai dari perkenalan dulu, ya." Kakak berkacamata mengangkat daftar nama. "Biar kita bisa saling kenal. Perkenalan secara bergiliran dari bangku depan ya. Sebutkan nama, asal sekolah, dan hobi."

Satu per satu siswa memperkenalkan diri. Ada yang grogi sampai suaranya hilang setengah, ada yang pede seperti sudah terbiasa tampil di depan umum.

Giliran di barisan belakang semakin dekat. April terlihat panik, memainkan jemari dengan gelisah.

"Tenang. Santai aja," bisik Natasha menenangkan.

Akhirnya nama Natasha disebut.

"Natasha."

Natasya mengangkat diri dari kursinya, merapikan masker, dan berkata dengan lantang walaupun dadanya berdebar.

"Halo semuanya. Nama aku Natasha Karen Alonia, sering dipanggil Natasha. Dari SD Kiaracondong. Hobi aku nyanyi... sama masak."

Simpel. Aman. Tidak malu-maluin.

Kakak OSIS tinggi itu mengangguk sambil mencatat sesuatu. "Nice. Selamat bergabung, Natasha."

Begitu ia duduk kembali, Natasha menarik napas lega. April mengangkat alis, memberikan ekspresi 'keren juga' versi pendiamnya.

Tinggal April berikutnya. Ia tampak semakin tegang.

Kakak OSIS tinggi itu membaca lagi daftar.
"Selanjutnya... April. Silakan."

April berdiri dengan tubuh kaku. Tangannya mengepal pelan di samping tubuh, suaranya hampir tak terdengar.

Dan Natasha bisa merasakan... ada sesuatu yang berbeda dari perkenalan April ini.

"Halo... nama a-aku Aprilia Sen-naa mahesw-wari... dari SD suk...."
Kata-katanya tersendat. Napasnya memburu. Seolah lidahnya lupa cara bekerja.

Beberapa siswa di barisan depan mulai menahan tawa, lalu pecah pelan-pelan.

"Hahaha... kok grogi banget sih..."
"Pendiam banget ya..." bisik beberapa anak yang cukup terdengar.

April menunduk makin dalam, wajahnya tertutup masker tapi jelas ia sedang panik.

Tanpa pikir panjang, Natasha langsung berdiri. Kursinya bergeser keras, membuat semua melirik ke belakang.

"Hei." Suara Natasha tegas. "Jangan kayak gitu. Dia juga temen kalian. MPLS itu buat kenalan, bukan buat ngetawain."

Kelas langsung hening. Tawa memudar. Beberapa anak yang tadi nyinyir langsung menunduk.

Kakak OSIS berkacamata mengangguk puas. "Benar kata Natasha. Kita harus saling support. April... kamu nggak apa-apa. Santai aja. Kamu di sini aman."

Kakak OSIS tinggi menambahkan dengan senyum penuh percaya diri. "April, kamu bisa. Coba ulangin pelan-pelan."

April menelan ludah. Ia menatap sekilas ke arah Natasya, yang hanya menatap balik dengan mata menyemangati.

Dengan napas yang lebih teratur, April mencoba lagi.

"Halo semua. Nama aku Aprilia Sena Maheswari, kalian boleh panggil aku April. Dari SD Sukarapih. Hobi aku menggambar dan sedikit suka nyanyi juga."

Kali ini suaranya jelas meski masih kecil. Tidak ada tawa, tidak ada ejekan. Hanya tepuk tangan ringan dari kakak OSIS dan beberapa teman yang mulai menghormatinya.

Natasha menepuk bahunya pelan saat ia duduk kembali. "See? Kamu bisa."

April mengangguk, matanya yang sipit berbinar sedikit. Seakan dukungan itu membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.

RAKSHAWhere stories live. Discover now