Hujan sore itu datang pelan-pelan, seperti kebiasaan yang sulit dihapus dari sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta. Di teras rumah kontrakan mungil yang catnya mulai mengelupas, Helisma yang biasa dipanggil Eli oleh teman-temannya—menjemur beberapa baju anak kecil di tali yang membentang dari ujung ke ujung. Padahal langit sudah gelap, tapi kalau tak dijemur sekarang, besok pagi ia harus menyetrika seragam anaknya dalam keadaan lembap.
“Buna, aku lapar.”
Suara kecil itu datang dari balik pintu. Elin, anak perempuannya yang baru berusia tujuh tahun, muncul dengan rambut berantakan dan boneka lusuh di tangan. Wajahnya bulat, matanya besar—persis seperti ayahnya dulu, pikir Eli sekilas.
“Sebentar ya, Nak. Ikan gorengnya belum matang,” jawab Eli, tersenyum.
Elin mengangguk, duduk di kursi plastik, lalu mulai menggambar sesuatu di buku tulisnya. Dari tempatnya berdiri, Eli memperhatikan garis-garis kecil yang digores anak itu: gambar keluarga. Ada dirinya, Elin, dan… satu sosok laki-laki tinggi yang wajahnya cuma berupa lingkaran kosong.
Eli diam sejenak. Sakit yang sama, yang dulu sudah ia kira sembuh, terasa lagi di dada.
“Ini siapa, Lin?” tanyanya pelan, berusaha terdengar biasa.
Elin menatap gambarnya, lalu tersenyum polos. “Itu Ayah. Tapi aku nggak tau mukanya kayak apa.”
Senyum Eli nyaris pecah. Tapi ia tahan. Ia angguk, lalu memalingkan wajah. “Nanti kalau udah tau, kamu gambar lagi, ya.”
Anak itu mengangguk riang, seolah tak menyadari betapa berat kalimat tadi terdengar bagi ibunya.
---
Malamnya, setelah Elin tidur, Eli duduk di lantai ruang tamu, menatap layar ponsel yang retak di pojok. Tak ada pesan baru, tak ada panggilan masuk. Sudah bertahun-tahun begitu.
Gito Andara. Nama itu masih tersimpan di kontak, meski entah sudah berapa kali ia ingin menghapusnya.
Laki-laki itu dulu datang seperti hujan di musim kemarau—dingin, tapi menyejukkan. Gito yang selalu menjemputnya pulang kerja, yang rela menunggu di bawah pohon mangga depan rumah kontrakan hanya untuk memastikan Eli sampai dengan selamat. Gito yang mencium keningnya waktu mereka menikah sederhana di hadapan penghulu dan dua saksi.
Dan Gito yang juga pergi tanpa kata, meninggalkan Eli di bulan ketiga kehamilannya.
Awalnya, Eli pikir Gito sedang mencari kerja di luar kota. Tapi setelah sebulan, dua bulan, lalu setahun, yang datang hanya diam. Diam yang membuat udara di sekitar rumah ikut membeku.
Ia pernah mencarinya, menghubungi teman-temannya, bahkan datang ke rumah orangtua Gito di Jakarta Selatan. Tapi gerbang besar itu tak pernah terbuka.
“Pergi saja, Nona,” kata seorang satpam waktu itu. “Pak Gito sudah nggak tinggal di sini.”
Dan sejak hari itu, Eli berhenti mencari.
---
Tahun berganti. Elin tumbuh, ceria, banyak bicara, meski kadang suka bertanya hal-hal yang membuat Eli kehilangan kata.
“Buna, kenapa semua teman di sekolah punya papa, aku enggak?”
“Buna, papa suka warna apa?”
“Buna, kalau papa balik, apa dia tau aku suka gambar?”
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di sela-sela sarapan, di tengah hujan sore, atau saat Elin menatap pesawat di langit dan berkata, “Mungkin papa ada di sana.”
Dan mungkin, entah kenapa, ucapan itu kadang terasa benar.
---
Lima tahun setelah Gito pergi, Eli mendapat tawaran kerja dari seorang teman lama—jadi staf administrasi di villa kecil di Ubud, Bali. Gajinya tak seberapa, tapi cukup untuk mulai hidup baru. Elin yang sudah duduk di kelas dua SD setuju tanpa banyak tanya.
