Prolog

554 32 4
                                        

"Bulan tidak pernah berubah tempat, hanya kita yang kehilangan seseorang untuk menatapnya bersama"


⋆。°✩ “𝐁𝐢𝐫𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧” ✩°。⋆
.
.
.
.

Bulan malam itu tampak utuh, menggantung lembut di langit yang bersih. Cahayanya menembus jendela kamar yang kini terlalu rapi untuk disebut tempat seseorang pernah tinggal.

Ellok berdiri di balkon, menatap langit yang sama seperti dulu saat Renzo sering mengajaknya berbicara tentang bulan dan bintang.

Udara malam berhembus pelan, membawa aroma dingin dan sepi.

"Bulan malam ini cantik ya, Kak," bisiknya pelan, seolah Renzo masih ada di sana, duduk di tepi ranjang sambil tersenyum seperti biasa.

Namun yang menjawab hanyalah hening. Ellok menggenggam pinggiran balkon erat-erat, matanya mulai basah.

"Kalau Kak Renzo di atas sana bisa lihat aku, semoga kakak tahu... Aku kangen banget."

Gadis itu akhirnya melangkah masuk. Suara langkahnya pelan, seolah takut mengusik ketenangan kamar yang sudah lama tak disentuh.

Dinding di dekat meja masih menempelkan beberapa gambar lama, gambar bulan yang dibuat dengan krayon. Warna kertasnya sudah sedikit menguning, tapi bentuknya masih utuh.

Garisnya tak sempurna, tapi itulah yang membuatnya berharga.

Ellok tersenyum kecil.

"Gambarnya kak Renzo," gumamnya lirih. "Kakak bilang bulan itu harus dibuat dengan hati, bukan dengan tangan."

Tangannya menyentuh permukaan kertas itu. Bekas tekanan krayon masih terasa, kasar dan tebal.

Ingatan pun perlahan kembali, mengalir pelan seperti hembusan angin malam.

"Ell, gak gitu. Bulan harusnya bundar!"

Renzo mencondongkan badan, memperlihatkan bulatan besar yang ia buat dengan krayon kuning pucat.

"Bundar tu susah, Kak. Nanti jadi telur dadar lagi!" Protes Ellok sambil cemberut, krayonnya malah menyenggol kertas hingga bentuk bulan itu tampak berantakan.

Renzo tertawa. "Nggak apa-apa, bulan nggak harus sempurna. Yang penting dia tetap bersinar, kan?"

Ellok yang masih berumur enam tahun itu masih terlihat cemberut karena kesal. Bagaimana tidak? Renzo selalu mengajaknya untuk menggambar, padahal sudah jelas gambaran Ellok tidak sebagus milik kakaknya.

Ellok terdiam. Cahaya bulan menimpa gambar yang sama, gambar bulan buatan Renzo yang dulu membuatnya sedikit kesal karena sulit sekali menggambarnya.

Namun kini, gadis itu sangat merindukan momen yang tidak bisa diulang lagi. Ia rindu dengan Renzo, rindu dengan tawa kakaknya, rindu ketika diajari menggambar walaupun hasilnya nihil.

Kini, hanya Ellok yang tersisa untuk menatapnya. Air matanya ikut menetes.

Bertahun-tahun telah berlalu, tapi rasanya semua itu seakan masih hidup.

"Kak Renzo sayang banget sama Ell!"





⋆。°✩ “𝐁𝐢𝐫𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧” ✩°。⋆






Cerita ini adalah sequel atau kelanjutan cerita sebelumnya dari sebuah karya yang berjudul "Renzo, Adikku".

Di sini kalian akan diajak untuk melihat bagaimana kondisi mereka yang ditinggalkan bertahun-tahun oleh orang tersayang, terutama Ellok.

Untuk yang bertanya, kenapa tiba-tiba ada cast Jaeminnya, pelan-pelan akan Tia kasih tahu😉

So, ditunggu ya Manteman.

Semoga cerita kali ini tidak mengecewakan pembaca, terima kasih 💙

Biru yang Menenangkan [Jaemin]Where stories live. Discover now