🕰️ Bab II

0 0 0
                                        

🕰️🕰️🕰️

🕰️🕰️🕰️

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

🕰️🕰️🕰️

‎Aku masih bengong. ‎Angin membelai wajahku pelan, tapi bukan angin dari kipas angin museum murahan. Ini dingin, lembap, dan ada aroma tanah basah — kayak habis hujan di kampung.

‎Pria tinggi di depanku masih berdiri tegak, mata birunya nembus banget kayak lagi meramal dosa-dosa hidupku. ‎Serius, kalau ini prank, ini versi ekstrem.

‎“WIE BEN JE?” katanya lagi, suaranya berat, dan... jelas banget bukan Bahasa Indonesia.

‎“Eh, apa?” ‎Aku senyum kikuk, “Anu...english please?"

‎Dia gak jawab. Cuma ngeliatin aku dari ujung kepala sampai kaki — dari rambut ku yang terurai, vest tanpa lengan ku  sampai flat shoes ku, Tatapannya berubah... curiga.

‎“Wat... draag je...?” katanya pelan, keningnya berkerut.

*Kamu memakai apa?

‎“Waduh, ngomong apa sih?” aku garuk kepala. “Anu, mas. English please?"

‎Dia masih diam dan itu membuat ku jengkel.

‎"ni orang budek kali ya? Hello? Speak english or not?? Gak paham bahasa inggris ya, mas bule?"

‎ "Kamu inlander...atau Nederlander? Atau... Indo?"

‎Aku menelan ludah.

‎“...Saya orang Indonesia” jawab ku gugup, pria itu mengerutkan keningnya.

‎"maksud mu...Indo (campuran belanda dan pribumi)?" tanyanya lagi, aku  terdiam sebelum mengangguk, meng-iyakan ucapannya. Dia mendengus dan menatap ku jijik.

‎"Ternyata kamu salah satu dari monyet-monyet itu, Halfbloed."

‎Aku terdiam, dan berfikir keras tentang siapa 'Monyet-monyet' yang dimaksud olehnya. Sebelum dia menarik tangan ku dan menatapku aneh dari atas kebawah.

‎"Kamu ini...lelaki, atau wanita?" tanya heran sambil memandangi dadaku. Aku sontak menutupi dadaku dengan menyilangkan kedua tangan ku.

‎"Heh anjirr, tepos gini tapi tetep cewek pulen ya. Ini tuh cuma ketutup vest aja, aslinya mah lumayan. " ujarku kesal.

‎Aku menoleh kesekeliling, dan aku melihat sekeliling ku memiliki beberapa benda-benda yang tadi berada di museum tapi disini bersih, tak berdebu, lembab, atau berkarat. Rumah ini besar dengan cat berwarna coklat dan putih gading, nuansanya hangat dan...sangat terlihat sangat eropa dengan bendera Belanda berkibar di depannya. Aroma rumahnya pun berubah, yang awalnya berbau debu dan lembab kini udara di dalam rumah ini wangi kayu jati, bunga sedap malam, serta aroma rempah yang sangat tipis.

‎Kalau rumah ini ada didekat rumahku, Fix bakal dianggap rumah angker yang setiap malam ada hantu noni belanda nya.

‎Aku menoleh keluar dan melihat beberapa pribumi lewat sambil bawa hasil bumi, dan mereka nunduk pas lewat di depan cowok ini.

‎“Mijnheer Frederik.” panggil seseorang membuatku noleh cepat.

‎Dari kejauhan, datang seorang pria jawa berusia 50 tahunan memakai sarung batik dan blangkon berlari kecil ke arah kami. Seketika aku teringat sebelum aku berada disini wulan pernah menyebut nama itu—Fredrik— Benar, itu adalah nama pria yang berada di lukisan itu. Dipikir-pikir cowok ini juga mirip kayak yang ada di lukisan, ya walau aku cuma ngelihat sekilas aja sih.

‎Dia ngelirik sekilas ke bawah, masih dengan ekspresi dingin.

‎“Ada apa?"  katanya pelan tapi tegas. Pria tua itu membungkuk dalam.

‎"Semuanya audah selesai tuan."

‎"Baiklah, Tapi sebelumnya aku mau mengurus monyet satu ini" Ujar Fredrik sambil menatapku dingin dan mencengkram lenganku erat.

‎“Eh, gimana? Nggak, aku gak ikut!"
‎Aku berusaha narik tanganku, tapi entah kenapa tubuhku seperti kehilangan tenaga. Pandanganku mulai kabur. ‎Suara kuda, langkah sepatu, teriakan dalam bahasa yang asing — semuanya bercampur jadi satu. ‎Sebelum semuanya gelap, Aku melihat seseorang yang mirip dengan ku menatapku dengan tatapan datar.

‎Dan setelah itu...

Timebound Место, где живут истории. Откройте их для себя