Kavi mengangguk. Perlahan menjauh dari sisi ranjang. Mereka duduk di sofa yang tersedia dalam ruangan tersebut. Memilih untuk tidak bicara di luar karena Kavi tak ingin meninggalkan Lana sendirian.
"Kenapa, Bun?"
"Sini, lihat dulu," kata Bundanya. Ia memberi sebuah dokumen yang nampak sangat penting.
Saat Kavi membaca isinya, cowok itu langsung menatap Bundanya dengan raut wajah serius.
"Bunda serius?"
"Iya." Bundanya mengangguk. "Setelah kejadian ini, Bunda khawatir mau lepasin anak-anak ke mana, Kav. Jadi Bunda ngerasa lebih baik Bunda yang pegang semuanya. Menurut kamu gimana?"
Kavi menghela napas lega. Benar-benar lega. Tadinya Ia cukup bingung akan membawa Lana ke mana setelah panti asuhan Taman Biru tak lagi dapat dipercaya, namun kini Bundanya datang membawa solusi.
"Bun, makasih banyak, lho. Aku nggak tahu kemana harus bawa Lana sebelum Bunda bawa dokumen ini. Aku udah mikir segala kemungkinan, tapi nggak ada yang benar-benar terasa aman buat Lana."
Bundanya tersenyum lembut, menepuk bahu Kavi. "Setelah ini kita yang pantau bareng-bareng. Dan pastiin nggak ada Bu Mira atau Pak Arsa selanjutnya."
Kavi mengangguk. Kali ini, napasnya terasa lebih ringan. Ia menatap Bundanya dengan rasa syukur yang dalam.
"Kalau gitu Bunda pulang dulu, ya. Nanti balik lagi bawain baju sama makanan ke sini. Kamu jangan capek-capek, ingat harus kuat jagain Lana, jangan sampai drop. Dan besok harus udah balik ke sekolah."
Kavi menatap Bundanya lama, lalu tersenyum kecil. "Iya, Bun. Aku nggak apa-apa kok. Lana juga udah agak tenang sekarang," ujarnya pelan. "Makasih ya, Bun… buat semuanya."
Bundanya mengangguk, mengusap lembut kepala Kavi sebelum beranjak pergi.
— Broken Promise —
Lampu malam di kamar rawat itu redup, hanya menerangi sisi ranjang tempat Lana berbaring. Di kursi sebelahnya, Kavi tertidur dengan posisi miring ke depan, kepalanya bersandar di tepi ranjang. Lengan kirinya terkulai di atas selimut Lana, seperti refleks menolak pergi jauh darinya.
Lana pelan-pelan membuka mata. Tenggorokannya masih kering, tapi jauh lebih baik dari kemarin. Dia butuh ke toilet sekarang, tapi pandangannya tertumbuk pada Kavi yang tertidur lelap. Napas cowok itu pelan, rambutnya berantakan, wajahnya terlihat sangat lelah.
Lana menahan diri beberapa detik. "Gue ganggu nggak, ya?" batinnya.
Baru saja Lana ingin bergerak, tetapi Kavi tiba-tiba terbangung. Matanya terbuka sempurna, meski Lana yakin kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul.
"Kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya cepat.
Lana menela ludahnya, kemudian menggeleng. "Mau ke toilet," ucap Lana pelan.
Tanpa berpikir panjang, Kavi langsung berdiri dari posisinya. "Sini, pelan-pelan aja," katanya, bersiap ingin membantu.
Namun Lana menolaknya. "Tidur aja, gue bisa sendiri."
Bukan karena Lana gengsi atau sok jual mahal, tetapi justru karena ia tidak mau merepotkan Kavi sekaligus kasihan dengan cowok itu yang baru sempat untuk beristirahat. Lana tahu betul Kavi kelelahan, jadi ia hanya tidak ingin merepotkan.
"Kamu nggak mungkin bisa sendiri, Lan," jawab Kavi.
"Bisa, kok. Ini—"
"Lan. Aku bantuin aja, ya. Lantainya bisa aja lagi licin dan kamu bisa jatuh. Aku bisa lanjut tidur setelah bantuin kamu nanti, kok."
Meski terdengar seperti sebuah tawaran yang halus, kalimat itu juga mengandung ketegasan.
Lana tak memberikan jawaban apapun lagi. Ia membiarkan Kavi membantunya turun dari ranjang. Kakinya yang masih lemas membuat Kavi memeluk pinggangnya erat-erat. Sedangkan tangan Lana bertumpu pada pundak Kavi.
"Jangan dikunci, ya. Aku jagain di depan pintu," perintah Kavi lembut. Lana mengangguk, ia menaruh kepercayaannya seratus persen pada cowok itu.
Setelah menyelesaikan urusannya. Pintu toilet akhirnya terbuka. Lana kembali dipapah oleh Kavi, namun entah mengapa perjalanan dari toilet ke ranjang kali ini terasa begitu lama. Entah karena memang jauh, atau karena jantungnya yang berdetak tidak karuan.
Sesampainya di ranjang, Kavi memastikan selimut gadis itu rapi kembali sebelum ia duduk di kursi tepi ranjang.
"Tidur, udah malem," kata Kavi pada Lana.
Lana menatap Kavi cukup lama. "Maaf udah buat lo kebangun," ucap Lana.
Kavi balas menatap. Entah sejak kapan tatapan lembutnya berubah jadi tatapan serius. "Aku memang harus bangun buat bantuin kamu," jawab cowok itu.
"Tapi waktu istirahat lo jadi kepotong," balas Lana.
"Bukan masalah besar, Lan. Kan bisa lanjut tidur setelah ini."
Lana menghela napasnya. Ia masih duduk, belum mau merebahkan dirinya. Lana sendikit merasa kesal pada dirinya sebab hanya bisa merepotkan.
"Kenapa nggak baring aja?" tanya Lana pada Kavi.
Kavi menggeleng pelan. "Kejauhan kalau aku baring di sofa. Jadi di—"
"Bukan di sofa," potong Lana. "Ini... di samping gue masih ada space."
Kedua alis Kavi langsung naik saat mendengar penuturan itu. Belum lagi ekspresi Lana yang terlihat canggung dan ambigu di waktu yang bersamaan.
Kavi mengedipkan matanya dengan cepat, napasnya sempat tertahan untuk beberapa saat.
"Ah... itu..."
"Ya, udah. Kalau nggak mau," kata Lana. Gadis itu langsung berbaring, selimutnya ia naikkan sampai menutup wajahnya. Di balik selimut itu, keluar umpatan bodoh untuk dirinya sendiri.
Kavi menatap sosok di balik selimut itu cukup lama. Gerakan kecil bahunya, napasnya yang belum teratur, dan ujung selimut yang sedikit bergetar, semuanya membuat sudut bibir Kavi terangkat.
"Tidur, Lan," katanya akhirnya, suaranya rendah dan nyaris seperti gumaman.
Tidak ada jawaban. Hanya suara hmm pelan yang terdengar dari balik selimut, tanda Lana masih terjaga tapi malas menanggapi.
Kavi menghela napas, kemudian menarik kursinya sedikit lebih dekat ke ranjang. Ia duduk kembali di posisi semula, menaruh siku di sisi ranjang, dan menyandarkan kepala di sana.
Sebelum matanya benar-benar tertutup, ia sempat berbisik pelan,
"Aku nggak perlu baring di sini buat tenang. Asal tahu kamu aman aja, udah cukup."
Tak lama, ruangan itu kembali sunyi. Hanya suara detak jam di dinding dan napas teratur mereka berdua yang terdengar. Dua orang yang sama-sama lelah, tapi entah kenapa, malam itu tidur dengan perasaan lebih ringan dari sebelumnya.
— To be continue
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.