Hari-hari berjalan seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya saja, rasa malu membuatnya tak sanggup bertemu dengan Refan.
Sudah beberapa hari ia menghindari laki-laki itu. Kejadian memalukan itu… ah, sial!
Tampil dengan crop top dan rok selutut yang senada, rambutnya dikuncir kuda, menyisakan beberapa anak rambut dan poni.
Telepon berdering, tertera nama Iqbal di sana. Entah kenapa laki-laki itu tahu nomor teleponnya dan meminta bantuan untuk datang ke sebuah pesta fakultasnya.
Kebetulan sekali dirinya senggang. Untuk menjernihkan pikirannya yang kacau karena kejadian beberapa hari lalu, ia memutuskan untuk datang.
Telepon dimatikan. Aira berjalan menuju mobil hitam yang disebutkan penelpon tadi.
Iqbal terkesiap melihat penampilan Aira yang memukau—bukan seperti gadis ber-hoodie yang ia temui di taman.
“Gue tahu, gue cakep. Mau sampai kapan natap gue? Bisa bolong nih muka,” ujar Aira.
Tersadar, Iqbal berdecak menyebalkan.
“Lu beda aja kayak biasanya. Tambah jelek,” ejeknya.
Aira memutar bola matanya malas, memilih tak menjawab. Ia hanya melihat keluar jendela. Jalanan terasa deja vu, malam yang sama.
Cukup lama wajah itu menatap keluar. Sesekali Iqbal melirik ke samping; mata itu terlihat merindu dan mengenang hal yang sangat ia cintai.
“Lu galau?”
“Sedikit,” jawab Aira singkat.
Iqbal tertawa.
“Hah? Lu bisa galau ternyata?”
“Gue manusia berhati lembut soalnya.”
Iqbal tertawa lagi, menggelengkan kepala tak percaya.
“Udah sampai.”
Baru saja tersadar, setelah mobil terparkir Aira keluar. Iqbal yang baru saja ingin membukakan pintu untuk Aira hanya terdiam. Padahal ia sudah berniat baik. Ya sudah.
Mereka berdua berjalan masuk ke dalam. Entah ini basecamp atau memang tempat untuk pesta—Aira tak tahu.
Dari sana, Aira melihat banyak orang. Tak ada yang ia kenal. Baguslah.
Iqbal berbincang-bincang entah dengan teman-temannya atau siapa.
“Bal, gue duduk sana, ya!” Aira menunjuk ke arah sofa di ujung sana.
“Nanti gue susul. Jangan minum, gue nggak mau bawa orang mabuk!” pesan Iqbal.
Aira hanya mengangguk. Ia duduk di sofa, matanya menatap orang-orang yang tak ia kenal. Ia hanya memperhatikan dari jauh.
Membuka ponselnya, ia memeriksa keadaan Beol di rumah lewat CCTV yang ia pasang. Kucing oranye itu ternyata sedang mencakar sofanya. Aira tersenyum terpaksa.
“Wah, si monyet ini. Dia nggak tahu apa gue udah ganti sofa berapa kali,” kesalnya.
“Oh, kucing lu?” suara tiba-tiba membuat Aira terkejut. Iqbal sudah duduk di sampingnya, ikut melihat ke arah ponselnya.
“Taewon juga suka nyakar sofa, bahkan bukan sofa. TV aja sering diservis karena dirusakin,” Iqbal menghela napas, terlihat seperti bapak-bapak yang khawatir pada anaknya.
Aira terkekeh.
“Beol juga aktif. Yang paling gue masalahin dia itu nggak bisa dipegang, pasti langsung nyakar.”
“Awalnya Taewon juga gitu. Gue sempat konsul sama teman gue, katanya Taewon lagi depresi.”
“Tapi masa depresi sih? Gue liat baik-baik aja Beol,” cemas Aira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Algoritma
Fiksi UmumIni bukan tentang baru atau lamanya, bukan tentang berapa waktu yang di habiskan, berapa hirupan oksigen yang menjadikan pasokan napas. Ini menyiksa diriku dan dia, biarkan saja aku yang jahat asal lukanya tak dalam. Aku masih menetap di tempat yan...
