Aira mendorong kasar tubuhnya. Tatapannya dingin.
"Ini ga ada hubungannya sama lu."
Refan tertawa lirih, namun kembali dikuasai amarah.
"Yah, sepele bagi lu, Ra. Tapi perasaan gua gimana? Gua lebih lama kenal lu. Wajar gua peduli."
"Ohh, lu pengen teman tidur kan? Gua bisa puasin lu!"
Mata Aira membelalak, emosinya memuncak.
"REFAN, LU UDAH TERLALU JAUH!" teriaknya sambil menunjuk wajah laki-laki itu.
Keduanya tersulut emosi, tak ada yang mau mengalah.
"Apa? Jauh? Ra... gua selalu tetap ada di garis batas yang lu buat. Gua penuhi semuanya. Kenapaaa?! KENAPA CUMA DI GUA YANG LU PASANGIN TEMBOK?!"
Mata Aira berair, entah menahan marah atau tangis. Suara Refan mulai melembut.
"Ra, manfaatin gua. Kenapa harus orang lain?" ucapnya putus asa.
Aira menggigit bibir bawah, menggeleng.
"Gua ga mau lihat lu sakit... apalagi penyebab sakitnya itu gua."
"Lu emang penyebabnya, Ra. Dengan lu bikin batasan ini, gua tersiksa. Harus lihat lu bergantung ke tempat lain. Gua lebih suka disiksa karena lu ada di samping gua... bukan karena batasan ga jelas ini!"
"Lu ga paham!"
Refan terkekeh hambar.
"Apalagi yang ga gua paham, hmm? Berapa alasan lagi? Emang bukan gua kan yang lu mau?"
Aira menepis kasar tangan Refan. Emosinya memuncak.
"Makanan udah gua siapin di dapur. Gua pulang. Obat di meja."
Refan menarik pergelangan tangannya.
"Apa? Lu mau kabur lagi?"
"Lepasin!"
"Kenapa harus kabur, Ra? Selesain. Oh, apa karena dia lu nolak gua? Orang yang selama tiga tahun ini ninggalin lu. Cowok brengs-"
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipinya. Refan hanya tertawa miris.
"Wah... cowok brengsek itu beneran bikin lu kecintaan banget, yah?" Ia mengusap pipinya yang panas.
"Mulut lu emang minta digampar. Kalau kurang, bilang. Tangan gua masih sanggup!"
Refan kembali tertawa.
"Yah, sorry-sorry. Gua emang kelewatan batas." Ia mundur, mengangkat kedua tangan seperti menyerah.
"Gapapa, lari aja lagi, Ra. Mau ke mana pun, gua bakal nyusul." Senyumnya tipis.
Aira menatap datar lelaki itu. "Bajingan!" umpatnya sambil membanting pintu. Suara tawa menggelegar terdengar dari dalam kamar.
Di dalam, Refan menghentikan tawanya. Ia menggigit bibir bawah saat mengingat wajah marah gadis tadi.
"Haaah... keknya fetis gua aneh, Ra," ucapnya, sembari meraih tisu.
---
Menyandarkan kepalanya di sofa, ia mengisap nikotin dengan rakus. Pandangannya teralihkan oleh sosok yang keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya.
"Gua balik!" seru Aira setelah menghabiskan hisapan terakhir. Ia segera bergegas pergi.
"Oke, gua bakal hubungin lu lagi," ucap laki-laki itu.
"Ga perlu! Just this one night! Jangan ngarep lebih."
---
Malam semakin larut. Entah mengapa kakinya terus melangkah menyusuri trotoar tanpa arah.
Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Udara terasa lembap, sedikit berembun-mungkin hujan akan turun.
Berjalan tanpa tujuan ternyata menghadirkan rasa yang aneh: menyenangkan sekaligus menyedihkan. Apakah begini rasanya menjadi makhluk astral?
Langkahnya terhenti di sebuah bangku panjang. Ia menoleh ke samping.
Benar, suara debur pantai terdengar jelas, aroma air asin yang tidak begitu ia sukai tercium samar. Entah mengapa, ia memilih duduk, memandangi pantai yang masih ramai oleh beberapa orang.
Ingatan perlahan menyeruak-memori yang manis, sekaligus goresan pahit di catatan hidupnya.
---
"Ini ga adil banget!" gadis itu mendumel kesal saat pakaiannya basah.
"Beol aja suka tuh sama air," ucap laki-laki itu sambil melirik Beol yang sibuk menggali pasir, seolah membuat lubang untuk kotorannya. Mungkin.
_"Lu ga bisa bedain mana air sama pasir?!" protes Aira.
Laki-laki itu tertawa puas berhasil mengerjainya. Namun tawanya terhenti ketika tubuhnya terdorong ke tepi pantai. Ombak menghantam, membasahi sekujur tubuhnya.
"Mampus!" gadis itu memonyongkan lidah, puas.
Mengumpat pelan, laki-laki itu bangkit dari posisinya lalu berlari mengejar si pelaku.
"Yaaahhh, jangan kejar! HUAAAA mamaaa!" teriak gadis itu. Suaranya membuat laki-laki itu terbahak.
"Awas lu ya, kalo ketangkep gua tenggelem-in di laut!"
"Gua ga suka laut, plis! Jangan kejar!"
Tawa laki-laki itu semakin kencang, seolah gadis itu benar-benar akan menangis.
Brak!
Gadis itu terjatuh terlungkup. Laki-laki itu sontak terdiam, menunggu reaksi. Tak ada. Cemas, ia mendekat dan mengangkat tubuh mungil gadisnya.
"Ra, lu oke?" tanyanya khawatir.
Wajah gadis itu penuh pasir. Ia hanya mengangkat jempolnya sambil memperlihatkan gigi putihnya.
Laki-laki itu terbahak. Pasir menempel hingga ke hidung dan mulut gadis itu-sungguh sayang bila tidak diabadikan.
"Wah, lawak banget nih anak," katanya puas dengan hasil jepretannya.
Sesaat kemudian, ia kembali menatap Aira. Namun gadis itu bergeming, menatap cairan di tangannya.
"Ini ingus, kan?" tanyanya ragu.
Panik, laki-laki itu sigap melap wajah dan hidung Aira dengan bajunya.
"Lu mimisan!" serunya panik.
"Hehehe," hanya cengiran yang keluar dari bibir gadis itu.
"Bukan waktunya 'hehehe'! Ayo, kita cuci muka dulu, abis itu pulang."
---
Aira terkekeh sendiri saat kenangan itu terlintas di benaknya. Matanya berembun. Ia menunduk, tak tahu ekspresi seperti apa yang sedang ia tampakkan sekarang.
Perlahan, bulir-bulir air menetes. Bukan hanya dari matanya, tapi juga dari langit. Hujan. Ia tidak berniat meneduh. Masih dengan posisi menunduk, pikirannya menerawang jauh.
Hujan semakin deras. Rintiknya membasahi kota metropolitan ini. Seolah tubuhnya pun ingin ikut basah, bukan hanya matanya.
Isaknya pecah, seiring tangisan yang tak tertahan. Dalam diam, ia mendengarkan kembali suara-suara yang familiar-tawa, canda, kenangan. Ia menutup telinganya, seakan ingin menolak semuanya.
Berteriak tanpa suara di tengah bising hujan. Bahkan deru ombak pun kalah oleh derasnya rintik.
Peran. Ya, ia sedang memainkan peran itu-memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan.
"Gapapa... gua mohon, gapapa..." bibirnya terus bergumam, mengulang kalimat yang sama.
Entah ditujukan untuk raganya, atau untuk jiwanya yang nyaris rapuh. Namun sakit itu nyata.
Di ujung jalan, dari halte yang tak jauh dari pantai, seorang perempuan berjas biru gelap menatap dari kejauhan.
Punggung yang menunduk itu tampak rapuh, seolah akan hancur jika tidak dipeluk. Biarlah ia hancur sekarang. Ia akan menghampirinya nanti, saat punggung itu kembali kokoh, seperti peran yang selama ini selalu ia mainkan.
"Haaah... Padahal gua juga bisa jadi rumah buat adik-adik gua."
Nada lirih itu terdengar samar-antara kecewa pada diri sendiri, atau iba pada nasib punggung yang membelakanginya.
VOUS LISEZ
Algoritma
Fiction généraleIni bukan tentang baru atau lamanya, bukan tentang berapa waktu yang di habiskan, berapa hirupan oksigen yang menjadikan pasokan napas. Ini menyiksa diriku dan dia, biarkan saja aku yang jahat asal lukanya tak dalam. Aku masih menetap di tempat yan...
05. Ego
Depuis le début
