Aira terbangun dari tidurnya, pinggangnya terasa berat. Ia melihat tangan milik Refan melingkar memeluknya di sana.
Dengan hati-hati, ia berusaha bangun agar tidak membangunkan laki-laki di sampingnya. Punggung tangannya ia letakkan di dahi Refan-masih panas, meski tak separah semalam.
Setelah mencuci wajah, Aira menatap cermin.
"Busyet, cakep anjayy," gumamnya, lalu mencepol rambutnya asal. Pandangannya melirik ke arah dapur kecil di kosan itu.
Tak ada stok makanan. Ia mendengus kesal, melirik sang empu kosan dengan geram.
Dengan terpaksa, Aira keluar untuk mencari sayur atau apapun yang bisa dimasaknya nanti.
---
Refan terbangun saat mendengar suara bising. Matanya setengah terbuka, menatap ke arah dapur yang tak jauh dari tempat tidurnya. Tampak gadis itu sibuk memotong beberapa bahan masakan.
Rasanya seperti sedang hidup bersama-indah, tapi tidak indah secara nyata. Ia bangun, berjalan ke arah gadis itu, lalu melingkarkan tangan pada pinggang rampingnya dan menyanggahkan dagu di pundak gadis tersebut.
Merasa tak nyaman, Aira mendengus.
"Lepasin, sebelum gua yang lu masak!"
Refan terkekeh serak, lalu menempelkan bibirnya ke leher gadis itu.
Aira terdiam. Setelah laki-laki itu masuk ke kamar mandi, barulah ia sadar, tangannya refleks memegang leher-masih terasa hangat dan basah.
"Bangsat!" umpatnya.
---
Keluar dari kamar mandi, Refan berjalan ke arah Aira yang sibuk dengan ponselnya.
Gadis itu tampak serius menatap layar.
"Ngapain?" tanyanya, lalu menyenderkan kepala di bahu Aira.
Aira membiarkan, tak ingin menghindar. Ia melirik sekilas wajah yang ikut menatap layar HP.
Rahang Refan mengeras. Nama "Javier" jelas terlihat di layar-panggilan telepon masuk.
"Jangan diangkat!" perintah Refan tegas.
"Yah, ga gua angkat. Lagian, lu ga punya hak buat ngasih perintah," jawab Aira ketus.
"Gua ga suka, Ra. Gua ga suka lu sama dia. Cowok itu ga baik."
"Iya, tahu." Jawaban acuh itu membuat Refan frustrasi.
"Jauhin dia, Ra!" tatapnya penuh harap.
"Jangan mer-"
"Raaa... please," mohon Refan.
Aira menghela napas pasrah. Entah kenapa ia merasa harus menjelaskan.
"Gua ga suka dia-"
Refan menghela napas lega.
"We are just sex friends."
Ucapan santai itu membuat rahangnya kembali mengeras.
"Lu tidur sama dia?" tanyanya, memastikan pendengarannya salah.
"Yah."
Kali ini benar-benar wajah Refan memerah marah. Ia menindih tubuh ringkih Aira.
"SEJAUH MANA, RA?!" bentaknya hingga gadis itu terkesiap.
"Reaksi lu berlebihan, Fan. Gua mau punya hubungan apa dan gimana sama orang lain, ga ada urusannya sama lu."
Refan memalingkan wajah. Amarahnya kian membara.
"Lu butuh partner seks? Temen tidur? Huh?!" Tangan Refan mencengkeram wajah Aira.
Melihat pipi gadis itu memerah, ia perlahan melunak, melepaskan cengkeraman lalu memeluknya erat.
"Kenapa ga gua?" bisiknya lirih.
"Fan, jangan terlalu jauh ikut campur. Gua ga suka."
YOU ARE READING
Algoritma
General FictionIni bukan tentang baru atau lamanya, bukan tentang berapa waktu yang di habiskan, berapa hirupan oksigen yang menjadikan pasokan napas. Ini menyiksa diriku dan dia, biarkan saja aku yang jahat asal lukanya tak dalam. Aku masih menetap di tempat yan...
