"Ih... My Letta pengertian banget. Aku makin suka." Ilham semakin riang, ia melanjutkan meniup bungkusan cilok dengan penuh dedikasi.

Gavin berdecak, nyaris meledak. Gadis yang waktu lalu mengancam akan menyerang April kalau ia masih dekat dengannya, sekarang malah duduk manis dengan Ilham. Apa ini adil? Sama sekali tidak. Dan andai Ilham punya sepercik kewarasan, mungkin ia sudah kabur meninggalkan Letta sejak lama. Tapi sayangnya, cowok itu terlampau bucin!

🍁🍁🍁

Matahari sudah hampir tenggelam ketika Rio akhirnya pulang. Seragamnya kusut, rambutnya lepek, wajahnya jelas mencerminkan seharian penuh aktivitas. Setengah hari bermain basket lalu nongkrong di pinggir jalan makan cilok membuat penampilannya jauh dari kata rapi.

Bu Weni yang baru saja menuruni tangga berpapasan dengannya. Alisnya langsung berkerut, tangannya mengibas-ngibas di depan hidung. "Rio, tumben jam segini baru pulang? Bau matahari lagi. Kamu habis dari mana sih, kumel begini?"

"Abis ngegembel, Ma!" sahut Rio seenaknya sambil naik tangga. Yang ada di kepalanya sekarang hanya satu, mandi lalu tidur. Hari ini terlalu panjang, terlalu menguras tenaga.

Keesokan paginya, perjuangan lain dimulai. Rio betah meringkuk di balik selimut, malas setengah mati untuk bangun. Rasanya tubuhnya masih pegal. Dan sekolah? Hhh... ujung-ujungnya pasti basket lagi. Ya Tuhan, kenapa kemarin dia bisa-bisanya mengiyakan tawaran April begitu saja?

"Rio! Bangun! Ini udah hampir jam tujuh. Kamu nggak takut telat ke sekolah!?" suara Bu Weni menggema dari balik pintu.

Rio mengerang pelan. "Iya, Ma! Bentar lagi!" Akhirnya ia menyeret diri ke kamar mandi, berganti seragam dengan ogah-ogahan, lalu turun ke lantai bawah.

Di meja makan, mamanya sudah duduk rapi dengan dandanan formal. Jas dan blus elegan, rambut disanggul rapi, jelas sekali bukan gaya sehari-hari di rumah.

Rio menarik kursi, duduk berhadapan. "Tumben Mama rapi banget. Mau kemana emang?" tanyanya, lalu meraih sepotong roti.

"Ada rapat kerja. Sekalian nanti siang Mama mau ketemu Bu Rahayu." jawab Bu Weni singkat, sembari menyeruput kopi.

"Bu Rahayu?" Rio bertanya sambil mengoles selai cokelat ke rotinya.

"Iya. Beliau sekarang yang memimpin Ajiwongso Grup, ya walaupun sekarang udah alih nama jadi Tunggadewi. Kalau Mama bisa bangun relasi dengan beliau, perusahaan kita bisa stabil, mungkin juga akan lebih berkembang di masa depan."

"Oh..." Rio hanya mengangguk. Topik itu terlalu berat buatnya pagi-pagi begini. Lagipula ada yang lebih penting dari itu. Setelah mengunyah roti sampai tuntas, ia memberanikan diri membuka pembicaraan. "Ma, aku boleh minta uang jajan tambahan nggak?"

"Hm?" Bu Weni menatap heran. "Buat apa? Uang jajan kamu kan sudah cukup untuk sebulan. Buat apa lagi minta tambahan? Hayoo... mau buat beli apa?"

Rio buru-buru menggeleng, wajahnya sok polos. "Nggak kok, nggak buat beli apa-apa."

"Terus?" Bu Weni menyipitkan mata, curiga. "Kalau bukan buat beli apa-apa, kenapa minta tambahan?"

Rio mengunyah rotinya lagi, otaknya putar otak mencari alasan yang aman. "Ya... itu, Ma. Uang jajannya kayaknya agak kurang. Soalnya... harga kantin sekarang naik. Air mineral aja udah mahal, belum bakso, belum nasi goreng. Semuanya naik."

Bu Weni menaikkan sebelah alis. "Oh, jadi kamu minta tambahan cuma gara-gara air mineral sama bakso?"

Rio keringetan dingin. "Ehh... iya, kira-kira gitu lah." Ia tertawa hambar, menggaruk tengkuk.

After It's All OverМесто, где живут истории. Откройте их для себя