Hari keempat belas, pencarian resmi masih dilanjutkan tapi hasilnya tetap nihil. Media menyebut El sebagai "korban hilang di laut". Kedua orangtua Alexa bahkan Carel dan Alex berusaha membujuknya untuk mengikhlaskannya.
"Dek, udah cukup. El udah tenang disana," ucap Alex dengan suara bergetar. Alexa menggeleng keras, berteriak, menolak kenyataan itu. "Enggak! El masih hidup! Kalian salah!"
Dalam keputusasaannya, Alexa bahkan nekat mendatangi pelabuhan. Ia ingin menyewa kapal kecil dan turun ke laut sendirian. Namun tindakannya berhasil dicegah oleh Carel. Ia meronta, menjerit, sampai akhirnya ambruk, pingsan di dalam dekapan Carel.
Satu bulan kemudian, polisi resmi mengumumkan penutupan pencarian intensif. Kasus El dinyatakan sebagai "hilang di laut, diduga meninggal." Suara itu menghantam hati Alexa. Semua orang sudah pasrah—orangtua El maupun orangtua Alexa, sahabat-sahabatnya, bahkan kedua abangnya yang biasanya keras kepala. Namun Alexa tetap tidak bisa menerima.
Alexa bangkit dari duduknya, ia berjalan pelan menuju jendela. Di luar gerbang rumahnya, ia melihat orang-orang berlalu-lalang. Terlihat anak-anak yang tengah bermain dengan senyum cerah di wajahnya. Tapi semuanya terasa asing.
Suara jam dinding terus berdetak, seakan mengejek dirinya yang terjebak dalam waktu. Bahkan hanya untuk sekedar tersenyum, Alexa sudah tak mampu. Entah butuh berapa lama untuk mengembalikan hatinya yang kini membeku.
Ingatan Alexa kembali menerawang, tentang kebiasaan tunangannya itu. El yang selalu menggendongnya saat ia tertidur, El yang selalu mewujudkan keinginannya tanpa ia bercerita, El yang selalu sabar menghadapi dirinya yang keras kepala, dan bagaimana El membantunya dalam menyembuhkan traumanya.
"Kalo sekarang kamu gak ada, siapa yang bantu aku buat nyembuhin trauma ini lagi El?" ucapnya lirih, air matanya kembali terjatuh, hatinya begitu sesak mengingat kembali semua momen yang pernah ia lewati dengan tunangannya.
"Siapa yang bakalan gendong aku lagi, kalo aku ketiduran?" kembali ia berucap, air matanya semakin deras, matanya memerah.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin, tepat di samping jendela—sosok asing dengan rambut kusut, wajah pucat, dan mata bengkak. Itu bukan gue... bukan gue yang dulu... batinnya lirih.
"SIAPA YANG NEMENIN AKU EL?! SIAPA!"
"AAAAH!" jeritnya frustasi, memukul dadanya sendiri.
"KENAPA, EL! KENAPA?!" Alexa menjambak rambutnya, suaranya parau, pecah di kamar yang sunyi. "KENAPA KAMU TEGA TINGGALIN AKU?!"
Air matanya jatuh deras, membasahi pipinya yang dingin. "Kamu sendiri yang bilang... kamu sendiri yang janji..." suaranya bergetar. Aku bakal selalu ada di samping kamu, Alexa. Aku nggak akan pernah tinggalin kamu... Kalimat itu terngiang di kepalanya, membuat dadanya sesak.
Tubuhnya luruh ke lantai, bahunya bergetar hebat. "Kamu sama aja kayak Reesha... kalian bohong semua..." bisiknya, hampir tak terdengar. Tangannya meraih vas di meja kecil, melemparkannya dengan sisa tenaga.
Pyar!
Suara kaca pecah memenuhi kamar, serpihan berhamburan di lantai.
Alexa terisak, tatapannya jatuh pada pecahan kaca yang berkilat samar di bawah cahaya lampu. Tangannya gemetar saat meraihnya. Dingin. Tajam. Bibirnya bergetar, darah seakan sudah menunggu di balik kulitnya.
"El..." napasnya tercekat, bulir air mata mengalir terus. "Aku capek... aku nggak kuat lagi... kalau kamu beneran pergi, buat apa aku ada di sini? Hidup aku udah nggak ada artinya lagi."
Ia menempelkan kaca itu ke pergelangan tangannya. Sesaat, ia terdiam. Sunyi. Yang terdengar hanya detak jam dinding—tik... tak... tik... tak—seolah menghitung sisa waktunya.
VOCÊ ESTÁ LENDO
I'm Alexa [End-Tahap Revisi]
Ficção Adolescente⚠️ BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ⚠️ - - Belum sampai diambang pintu kantin Alexa kembali berhenti, lalu melepaskan pecahan beling yang menancap pada sepatunya tanpa rasa ngilu. Setelah itu ia melepaskan sepatunya, terlihatlah kaos kaki putihnya y...
Epilog
Começar do início
![I'm Alexa [End-Tahap Revisi]](https://img.wattpad.com/cover/376930039-64-k717476.jpg)