Satu

32.4K 1K 12
                                    

Aku menghela napas panjang sebelum memasuki pekarangan rumahku. Tampak sebuah sedan silver terparkir nyaman di pelataran. Aku sudah hafal betul mobil itu, berikut pemiliknya. Benar saja. Si empunya mobil telah duduk santai di teras. Mungkin mendengar suara langkahku, dia segera menegakkan badannya. Sorot matanya sedikit liar menatapku. Kenapa orang ini?

"Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan ekspresi wajah yang kurang menyenangkan.

"Apa aku harus lapor padamu setiap kali keluar rumah?" balasku.

Entahlah! Laki-laki ini selalu saja membuat mood-ku berantakan. Aku meneruskan langkah ke dalam rumah. Sepi.

"Orang tuamu makan malam dengan orang tuaku." ucapnya sebelum aku bertanya.

Aku hanya ber'oh' ria. Aku tak kaget. Mereka sering melakukannya. Aku kembali ke teras dan menghempaskan tubuhku di kursi di hadapan laki-laki itu. Kulirik sekilas tampak dia tengah mengamati gerak tubuhku.

"Senang hari ini?" tanyanya dengan nada sinis.

Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengannya? Apa dia mau cari masalah lagi denganku?

"Jangan kamu pikir aku nggak tau kalau kamu tadi menghabiskan waktu seharian dengan laki-laki itu."

Mataku membulat. "Kamu memata-mataiku?!" tanyaku tak senang.

"Sudah kubilang, jangan temui dia lagi! Mau bikin malu keluargamu, ha?!" tatapnya tajam.

"Tak bolehkah aku bahagia sehari saja? Aku sudah mengikuti semua kemauan kalian.. Tak bisakah kamu biarkan aku bernapas barang sejenak?" tuturku menahan sesak di dada.

"Intan, jangan membantah! Hormatilah calon suamimu! Selama ini aku berusaha melindungimu, agar mereka nggak tau kelakuanmu."

Aku terdiam. Percuma aku memohon padanya. Aku tahu dia takkan mau bersikap lunak padaku.

"Aku akan percepat pernikahan kita."

"Nggak!" seruku. Oh, laki-laki ini benar-benar seenaknya sendiri.

"Tidak ada bantahan! Yang harus kamu lakukan sekarang adalah persiapkan dirimu sebaik mungkin. Dan lupakan mantan pacarmu itu! Jangan bikin darahku mendidih! Aku bisa saja menghajar laki-laki itu kalau kamu menemuinya lagi."

Matanya semakin tajam menatapku. Kalau bisa, ingin sekali rasanya aku melempar sepatuku ke hadapannya. Dia benar-benar telah sukses menguasai dan mengendalikan diriku.

"Jangan bersikap seolah terpaksa." kali ini suaranya lebih ringan.

Bersikap seolah terpaksa? Hei! Aku tak bersikap seolah-olah! Aku benar-benar terpaksa menikah dengannya! Kalau saja tak mengingat kebahagiaan orang tuaku, tentu aku memilih kabur dari rumah saja dan kawin lari dengan Okta. Gara-gara semua ini, aku harus meninggalkan Okta. Huft, padahal kami sempat merangkai mimpi indah bersama.

"Jangan khawatir, kamu pasti akan bahagia bersamaku." ucapnya lagi sambil mengacak rambut di puncak kepalaku. Kutepis tangannya dengan kasar. Kali ini dia tak marah.

"Buatkan aku makanan, Tan! Lebih dari satu jam aku menunggumu tadi. Aku lapar." katanya memerintah seolah sudah jadi suami saja.

Tanpa banyak bicara aku segera melangkah ke dalam rumah. Malam ini dengan terpaksa aku harus makan mie instant bersamanya. Oh, akankah seperti ini seumur hidupku nanti bersama laki-laki ini?
**

SAAT KAMU BUKAN DIRIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang