"Xeranoth," Dazi memecah keheningan, suaranya dalam. "Dikatakan dia bukan hanya sumber energi kegelapan... dia adalah kegelapan itu sendiri. Kalau kita ingin menghancurkannya, kita harus memutus keseimbangan antara cahaya dan gelap. Caranya sudah pernah aku jelaskan. Meski aku merasa kita mulai siap melawannya... kita sama sekali tak tahu di mana dia berada."
Ia menarik napas, menatap kosong ke depan. "Itu masalah terbesar kita sekarang."

Safira meliriknya. "Yang jelas, kita butuh istirahat. Kita cari tempat aman dulu. Tempat pertama kali aku membawamu, ingat?" ujarnya sambil berjalan. Dazi menatapnya sekilas, masih dengan raut bertanya, tapi Safira hanya memberi anggukan singkat seolah tak ingin membahas lebih jauh.

---

Gapura desa itu berdiri di hadapan mereka.
Tiga pasang kaki terhenti.
Desa itu sunyi-terlalu sunyi. Tak ada suara ayam, tak ada tawa anak-anak, tak ada langkah kaki manusia. Hanya angin yang merayap di antara rumah-rumah, membawa aroma debu dan... sesuatu yang basi.

"Firasatku buruk," gumam Dazi dengan mata menyipit. Safira dan Tiara hanya mengangguk pelan. Suasana mencekam itu merayap di kulit mereka, menegakkan bulu kuduk.

Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Mata mereka menyapu setiap sudut-bahkan riak dedaunan pun membuat mereka waspada. Sepanjang jalan, tak ada tanda kehidupan. Yang ada hanya sumur tua dengan timba tergeletak di tanah, gerobak gandum terbalik dengan isinya berserakan, dan bekas ikatan kuda serta sapi yang putus-seolah binatang-binatang itu kabur karena ketakutan.

Langkah mereka berhenti di tanah lembap. Ada ratusan jejak kaki, semua menuju ke arah gudang desa. Tiara berjongkok, jemarinya menyentuh tanah. "Jejak ini masih basah. Dan ini bukan air hujan... seperti ada yang sengaja menyiramnya." Nada suaranya berat, penuh tanda tanya.

"Siapa yang cukup bodoh meninggalkan jejak kejahatan seperti ini?" gumam Dazi, alisnya berkerut.

"Atau..." Safira memandang lurus ke arah gudang, suaranya rendah. "Ini jebakan. Dan mereka memang menunggumu untuk mengikutinya."

Mereka menatap gudang itu penuh curiga, kemudian ketiganya melangkah lagi, perlahan. Angin mendesir di antara papan-papan rumah yang lapuk.
Di salah satu sisi jalan, sebuah boneka kain usang tergeletak di lumpur. Badannya kotor, sebagian gepeng, seperti sudah diinjak-injak berkali-kali.

Tiara menatapnya sebentar. "Kalau ada boneka, berarti ada anak-anak... setidaknya dulu," gumamnya lirih. Tapi di desa ini, satu-satunya yang mendengar adalah mereka sendiri-dan keheningan.

"Kita sudah sampai," gumam Safira tepat di depan pintu gudang.
Dazi maju selangkah, menempelkan telinganya ke pintu. Samar-samar, terdengar suara tawa tipis bercampur suara kunyahan daging. Dazi menahan napas, mencoba menangkap detail suara itu-hingga kalimat yang meluncur dari dalam membuat darahnya berdesir.

"Masuklah... tidak perlu malu-malu."

Dazi terlonjak mundur setengah langkah. "Dia tahu kita di sini," gumamnya rendah.

Tanpa menunggu lagi, Dazi mendorong pintu gudang dengan hentakan kuat. Pintu terbuka lebar-dan ledakan api langsung menyambut dari berbagai arah, menyembur liar ke tengah ruangan.

Pemandangan di dalam... bagai potongan neraka. Puluhan penduduk desa berlutut, tubuh mereka terikat tali panjang yang saling menghubungkan. Mulut mereka dibungkam kain, tapi jeritan tetap terdengar-tertahan, tercekik, dan memecah hati. Api melahap cepat, kulit mengelupas, mata melotot sambil mengalirkan air mata yang langsung menguap di panasnya kobaran.

Setiap upaya melarikan diri justru mempererat ikatan-membuat mereka saling menjatuhkan. Beberapa menggeliat di tanah, sebagian lain sudah tak bergerak, tubuhnya hitam pekat dan rapuh. Hingga akhirnya semburan api mereda, menyisakan tumpukan tubuh hangus. Beberapa masih bernapas, namun hanya dengan kejang-kejang terakhir sebelum keheningan merenggut.

Aether in SilenceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora