“Tirta…”
“Aneh, ya? Tiba-tiba gue ngungkit soal ini. Maaf, kita lupain aja. Kayaknya karena kebanyakan try out gue jadi gampang sensi.” ucap Tirta, lalu meraih bubur yang masih tergeletak di meja.
“Lo ini ngomong apa? Nicole itu Nicole, Sissi itu Sissi.” Fattah menjawab cepat, tegas. Seolah memang tak pernah ada kebimbangan dalam benaknya soal itu.
Padahal tidak. Itu bohong. Akan jadi kebohongan kalau dikatakan Fattah sama sekali tidak punya pikiran yang sama seperti Tirta karena kenyataannya, sekeras apa pun dia mencoba, Fattah tetap melihat Nicole sebagai Sissi. Setiap kali berada di sisinya, setiap kali berbicara dengannya, semua perlakuan yang dia tunjukan... apakah itu ditujukan untuk Nicole, atau sebenarnya untuk Sissi?
Jawabannya abu-abu.
“Udah, lupain aja,” ucap Tirta, mencoba mengalihkan pembicaraan. Pandangannya beralih ke bubur di pangkuannya. “Loh, kok nggak ada sendoknya? Makan pake apa kita?”
“Oh iya, gue ambil dulu ke dapur.” kata Fattah.
“Dih, tadi ke dapur bukannya ngambil sendok.” sahut Tirta.
Seolah membaca situasi, Mohan muncul dari arah dapur sambil membawa empat buah sendok dan satu ponsel yang masih menyala.
“Nih, sendok buat makan. Terus… Harry katanya mau ngomong sama kalian. Gue loudspeaker aja, ya.”
“Halo.”
“Ya, Har?” Fattah yang menjawab cepat. Tirta masih sibuk mengunyah, mulutnya penuh dengan bubur.
“Guys, maaf banget… gue hari ini nggak bisa ke sana karena jadwal gue lagi numpuk banget.”
“Santai aja, sih.” jawab Fattah.
“Gimana? Ritualnya berhasil, kan? Nicole nggak papa?”
“Ritualnya berhasil. Nicole... sampe sekarang masih belum bangun. Energinya kekuras banyak, tapi aman kok. Kenapa? Ada yang mau lo omongin?”
“Iya. Sebenernya gue… abis dari ruang klub sastra. Gue nyari tau ulang soal anak yang hilang tahun 2021, sama itu… puisi yang dia tulis. Tapi karena gue ngerasa puisinya nggak ada yang aneh, akhirnya gue borong semua karya dia. Sayangnya, gue nggak bisa jelasin sekarang soalnya sebentar lagi gue masuk kelas, jadi gue kirim fotonya, ya.”
“Harry....” tiga suara serempak keluar dari mulut Fattah, Tirta, dan Mohan. Mereka terharu—di tengah padatnya jadwal, Harry masih sempat mencari informasi demi mereka.
“Udah gue kirim di grup, jadi tinggal kalian baca-baca. Oh, bener. Denger-denger, anak itu juga ada masalah. Lagi-lagi karena gue nggak punya banyak waktu buat ngejelasin, jadinya gue kirim informasinya lewat grup. Bisa dibuka nggak file Word-nya?”
“Bisa!”
“Kalo Kala, gue belum nyari lebih detail, tapi ada beberapa informasi tambahan. Gue barengin di file yang sama. Kalian tetap hati-hati ya di sana. Tolong jaga Nicole, karena cuma sama dia kita bisa bergantung. Tolong juga jaga Mohan... kalo meleng dikit, itu bocah bisa lenyap dari dunia. Dah, ya! Gue tutup.”
“Tunggu, tunggu.” sergah Fattah.
“Ngapa?” sahut Harry.
“Nggak kenapa-napa. Cuma mau bilang makasih. Lo juga hati-hati ya, Harry.”
“Dasar… sama-sama.”
Sambungan telepon langsung terputus.
“Puisi?” Tirta menyalakan ponselnya, disusul oleh Mohan.
YOU ARE READING
To be With You
Mystery / ThrillerSeason 2 dari Try to Feel You. "Tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanyalah takdir yang menyamar." A REMAKE STORY This story is originally created by Kak @yakubaka Started: Kamis, 28 Agustus 2025 End: Senin, 13 Oktober 2025
Chapter 19: File 11
Start from the beginning
