デアイ (Meet)

67 1 0
                                        

Menginjakkan kaki di sebuah negara yang telah lama aku tinggalkan, ingatkan ku pada banyak hal yang sudah kulupakan. Suhu dingin yang tersisa dari musim dingin masih terasa siang ini, meskipun sudah memasuki musim semi, terasa mulai membunuhku. Bisa jadi ini adalah bentuk protes seluruh organ tubuhku yang bertahun-tahun sudah terbiasa dengan penghangat yang terpasang di mobil yang biasa Cole kendarai. Ya, hari ini, seperti orang Jepang pada umumnya aku berjalan kaki dari stasiun menuju apartemenku yang tidak jauh dari rumah tempat aku dibesarkan ketika aku berumur empat sampai sembilan tahun, mungkin dapat kalian sebutkan sebagai tempat dimana ibuku tinggal. Memang sejak awal, sebagai syarat kesepakatanku dengan ayah yang sangat menginginkan seorang Arata Crouch untuk melanjutkan penelitiannya di negara tempat berseminya cinta antara politisi yang memiliki kebiasaan bodoh dengan planetolog yang sangat keras kepala,untuk tinggal di sebuah apartemen sendirian, meskipun aku dan ibu harus melalui pertempuran argumentatif untuk merealisasikan keputusan ini.

Suhu dingin ini semakin membuatku muak, ditambah dengan ibuku yang memilih untuk pergi menuju supermarket untuk membeli keperluan bulan ini dan meninggalkanku sendiri menuju tempat tinggal baruku. Tapi satu hal yang tidak pernah membuatku kecewa dengan negara ini yaitu keindahan bunga sakura yang memasuki masa tumbuhnya di bulan ini. Warnanya yang putih kemerahan mengingatkanku pada sesuatu yang aku sendiri sulit sekali mengingatnya. Meskipun banyak orang yang menyebutku sebagai jenius abad ini tapi tak sekalipun aku menganggap diriku sebagai orang yang mereka katakan karena hal ini. Ribuan kali aku coba untuk mengingatnya, tapi yang aku dapatkan cuma gambaran kecil akan hal itu. Jujur, aku sangat kesal akan hal itu. Akan tetapi, aku sangat menyukai warna dan suasana kedamaian yang dihadirkan oleh bunga yang sesungguhnya tidak terlihat seperti bunga ketika mereka mula beterbangan ditiup oleh angin yang dingin. Tak lama aku bisa menikmati keindahan itu, akhirnya aku pun sampai, menurut aplikasi peta yang ada di smartphone-ku.

Akupun dibuat terkejut dengan besarnya apartemen yang akan aku tempati. Tidak seperti bayanganku sebelumnya yang lebih menyukai rumah bergaya Jepang tradisional dengan kertas sebagai dinding dan pintu geser legendarisnya. Rasa-rasanya mereka sudah mulai meninggalkan gaya bangunan itu dan mulai menyukai gaya bangunan modern yang sebenarnya aku sendiri tidak akan pernah paham dengan konsep modern itu sendiri. Bukankah mereka cuma berusaha untuk menjadi kebarat-baratan? Amat disayangkan. Meskipun dengan gerutuanku yang semakin lama semakin menjadi, aku berusaha tenang dan masuk ke dalam apartemen.

***

Di dalam lobi apartemen, semuanya berbanding terbalik dengan suasana yang kurasakan di luar. Di sini terasa lebih hangat, ya terima kasih telah mengingatkanku pada penemuan yang disebut air conditioner. Sudah seperti yang kuduga dari sebuah apartemen mewah, lobi ini terasa sangat nyaman dengan banyak dekorasi-dekorasi yang sangat memikat mata. Di samping pintu masuk otomatis aku melihat dua pohon cemara dengan tinggi sekitar satu meter menghiasi kedua sisinya. Lalu foto pemandangan Tokyo pada malam hari yang sangat menawan terpampang bersama sofa-sofa di ruang tunggu. Namun dari semua dekorasi itu aku melihat sebuah lukisan yang amat sangat tidak biasa bagiku, pada bagian belakang resepsionis ada sebuah lukisan yang menggambarkan Niccolo Machiavelli sedang mengobrol dengan Sokrates, lukisan yang dapat aku katakan sebagai ketidakmungkinan karena meskipun mereka sama-sama dikenang banyak orang di dunia sebagai filsuf, tapi mereka hidup di zaman yang sangat berbeda, akan tetapi lukisan tersebut menggelitik minatku yang kebetulan sangat menyukai karya-karya filsafat sebagai penghiburku di akhir pekan. Saking tergelitiknya hingga membuatku tidak tersadar bahwa aku berdiri terdiam cukup lama di depan resepsionis, dan mungkin hal ini membuat pegawai yang bertugas ketika itu berdeham dengan keras.

Mendengar dehamannya aku langsung berusaha secepat mungkin selesaikan urusanku dengannya dan langsung menuju apartemenku yang terletak di lantai empat. Di dalam lift menuju lantai empat aku tidak merasakan ada yang berbeda dengan lobi yang baru saja aku tinggalkan, suasana klasik kebarat-baratan masih menjadi hal terbesar yang dapat aku rasakan. Bersamaku ada seseorang pria berumur sekitar 28 tahun yang berdiri dekat dengan tombol lift. Ia berpenampilan cukup menarik dengan jas lengkap, mungkin ia baru saja kembali dari tempat ia bekerja, kemudian ia bergaya rambut klimis dan di lengannya ada sebuah jam tangan bermerek yang sangat berkilau, bisa jadi ia adalah salah satu elit di tempat dimana ia bekerja. Di dalam lift tersebut ia nampak seperti orang kebingungan, sembari memegangi cincin kawinnya ia sangat terlihat berusaha menenangkan dirinya, sangat menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam rumah tangganya. Sampai di lantai tiga, pria itu pun keluar dari lift sembari menggaruk rambutnya. Ah, mungkin inilah alasannya mengapa diriku tidak menginginkan jalinan aneh diantara dua makhluk satu spesies namun memiliki perbedaan secara seksual, ya, pada intinya aku sangat tidak setuju dengan konsep menyatukan dua ego yang menjadi hal mendasar yang dimiliki manusia. Membosankan.

***

Sampai di lantai empat, dengan membawa koperku yang tidak terlalu berat, karena sebelumnya barang-barangku sudah diurus oleh ibuku dan beberapa asistennya, aku pun menuju apartemen nomor 405. Ketika aku sampai di depan pintu apartemenku dari pintu sebelah, tepatnya nomor 406 keluarlah seorang perempuan yang sekiranya seumuran denganku, ia menggunakan seragam SMA musim dingin dengan warna biru gelap yang menjadi dasar dan putih yang menjadi warna tambahan yang dominan di sekitar kerah, ia berambut bob* dengan warna hitam kecoklatan dan membawa tas yang umumnya digunakan siswa SMA. Dia berjalan agak lambat dari orang Jepang biasanya dengan kepala yang agak tertunduk ke bawah, ketika ia berjarak sekitar satu setengah meter dariku kemudian ia berhenti dan mengangkat kepalanya dan memandangku dengan perasaan sedikit kaget. Aku membalas tatapannya bingung, kami terdiam sejenak dan kemudian terpecah dengan ia yang kemudian mengeluarkan suaranya...

"Arata?!"

Dan ajang saling tatap kami pun berlanjut.

--------------------------------------------------------------------------------------

Footnote:

*Bob Hairstyle: Gaya rambut pendek yang biasa dikenakan perempuan, terkenal sejak tahun 50-an dan kembali trend sejak akhir 2000an.


DatabaseWhere stories live. Discover now