Maaf banget ya, semalem mau up nggak jadi. Lihat berita nggak enak bikin nggak mood seharian 🥀
**
“Hari ini jadwal syuting sama Pak Prawira, lo udah siapin materinya, kan?”
Ale mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari ponsel, kemudian memandang Gilang dengan mata menyipit. “Gue belum bilang ya, kalau segmen Kepoin Pemerintah mau gue wrap up?”
“Udah, lo udah bilang, kok.”
“So?” Ale kembali memfokuskan matanya ke layar ponsel. Kedua ibu jarinya menari dengan lincah, mengetuk-ngetuk layar yang menampilkan sebuah gim daring.
Gilang menghela napas. “Bro, kita ini kerja di industri. Kalau pun lo mau idealis, minimal lo tetep kudu profesional. Enggak main cabut aja, tanpa peduli SOP.”
“Tujuan gue bikin podcast tuh buat escape dari rutinitas perusahaan.” Mau tidak mau, Ale menutup gimnya untuk menanggapi Gilang. Sahabatnya itu akan semakin murka jika Ale nekat mengabaikan protesnya.
“Ya, itu kan dulu, waktu kita masih berdua doang. Sekarang lo punya karyawan, lo punya tim yang menggantungkan hidup mereka sama keberlangsungan podcast di studio ini.” Gilang mengempaskan tubuhnya ke sofa di samping Ale. “Lagian, apa nggak aneh kalau tiba-tiba podcast Kepoin Pemerintah mendadak hilang gitu aja? Menurut lo, gimana perasaan viewers kita? Apa lo kira mereka nggak akan trust issue nantinya?”
Ale berdecak. “Kayak yang punya viewers banyak aja. Kepoin Pemerintah tuh nggak serame itu. Masih ramean Kepoin Artis yang dipegang timnya Rahman, noh,” seru Ale kesal.
“Lho, gue nggak peduli mau berapa pun viewers kita. Lo sendiri yang milih nge-host-in Kepoin Pemerintah. Kenapa sekarang kesannya kayak lo iri banget sama pencapaian timnya Rahman? Toh, duit yang mereka hasilin sebagian masuk ke kantong lo juga pada akhirnya.”
Mendengar itu, Ale seketika bungkam. Gilang tidak sepenuhnya salah. Sejak awal, dirinya sendiri yang memilih untuk mengampu podcast ini dan menyerahkan podcast lain pada Rahman dan timnya. Namun, Gilang juga tidak benar ketika menuduhnya iri pada pencapaian tim lain. Dibanding iri, Ale lebih merasa menanggung beban ekspektasi yang terlalu tinggi di pundaknya. Saat ekspektasi itu tidak tercapai, Ale jadi kesal sendiri.
Ale menghela napas.
Iya. Dia iri.
Bagaimana mungkin, tim yang dia rekrut asal-asalan justru menjadi penyumbang penghasilan terbesar untuk studionya? Sebagai founder, Ale merasa malu dan... iri.
“Siapa sih sebenernya yang mau lo bohongi?”
Tepat sekali. Gilang menamparnya tanpa perlu mengangkat tangan. Pertemanan selama lebih dari dua dekade membuat lelaki itu mengenal Ale lebih dari dirinya sendiri. Ale bahkan lupa, tujuan awal, yang paling murni, ketika membuat podcast bersama Gilang dulu. Dia telah kehilangan idealismenya bertahun-tahun lalu. Lantas, dengan sangat tidak tahu malu, sekarang dia mengatasnamakan ego dan ambisinya sebagai idealisme.
Perdebatan mereka disela oleh kehadiran Raina, co-producer yang membantunya mengampu Kepoin Pemerintah. Perempuan itu mengetuk pintu dua kali, kemudian melongokkan kepala hingga melewati pintu yang sudah terbuka sedikit.
“Pak Prawira udah dateng. Siapa yang mau nemuin di ruang tunggu?”
“Ale-lah.” Sebelum sempat Ale menjawab, Gilang sudah lebih dulu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri Raina. “Gue mau nyiapin kamera dulu,” pamitnya kemudian.
“Le?” Ragu-ragu, Raina memanggil Ale yang masih terlihat bengong. Lelaki itu sedikit tergeragap. Kemudiah, setelah menghela napas, Ale lantas bangkit.
“Bilang suruh nunggu bentar. Gue siap-siap dulu.” Jawabannya itu segera mendapat anggukan dari Raina.
Setelah perempuan itu pergi, Ale melangkah bolak-balik sambil memikirkan tindakan yang akan dia ambil setelah ini. Karena mengira sudah cukup hanya dengan memberi pemberitahuan pada Prawira dan Pak Gunadi, Ale tidak menyangka Prawira akan tetap datang sesuai jadwal. Saat dia mengatakan akan membungkus podcast Kepoin Pemerintah, perkiraannya Prawira akan berinisiatif mundur. Jadi, dia tidak perlu repot-repot menyiapkan materi lagi.
Ale mengambil napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Tidak perlu waktu lama baginya untuk bisa mengendalikan keadaan dan menguasai dirinya. Sebuah ide materi untuk podcast hari ini sekelebat muncul di kepalanya. Hari ini, akan menjadi episode terakhir podcast Kepoin Pemerintah. Sambil mengulas senyum, Ale bergegas keluar dari studio dan menemui Prawira di ruang tunggu.
**
“Setelah ngobrol bareng dengan berbagai topik hangat bersama Pak Prawira selama delapan episode Kepoin Pemerintah, dengan berat hati, kita harus kasih tahu ke kalian. Episode malam ini adalah episode terakhir Kepoin Pemerintah. Karena setelah ini, Pak Prawira akan sibuk dengan persiapan pemilihan umum dan kita nggak mau mengganggu jadwal beliau.”
Musik sedih mengiringi ucapan Ale saat menutup acara. Lampu bagian tengah studio dimatikan, diganti dengan lampu sudut yang lebih redup. Di bagian tengah studio, hanya ada lampu sorot di atas kepala Ale.
“Sebagai penutup episode terakhir ini, mungkin Pak Prawira ingin mengucapkan sesuatu?”
Lampu sorot di atas kepala Ale berpindah menyorot Prawira. Lelaki itu berdeham pelan, kemudian mendekatkan diri ke arah mikrofon.
“Terima kasih pada Mas Ale yang sudah memberi saya kesempatan memperkenalkan diri di sini. Terima kasih juga untuk tim podcast Kepoin Pemerintah yang selalu menyambut saya dengan baik. Semoga ada kesempatan di masa depan untuk saya hadir kembali sebagai tamu di podcast baru Mas Ale. Itu saja.”
“Mungkin nggak dalam waktu dekat ya, Pak, karena setelah ini saya mau bikin podcast investigasi lagi,” seloroh Ale sambil tertawa. “Siap-siap ya, Detektif Online semuanya.” Sambil menatap ke kamera, Ale menunjuk dan mengerling jenaka.
“Cut!”
Lampu sorot dimatikan bersamaan dengan aba-aba Gilang. Sebagai gantinya, lampu studio dinyalakan kembali. Ale berbasa-basi singkat dengan Prawira, kemudian berjabat tangan dan berpamitan.
“Maksud lo apa, pas closing tadi?”
Begitu masuk ke studio editing, Ale langsung disembur dengan pertanyaan oleh Gilang. Seolah tidak terganggu, lelaki itu segera duduk di depan komputer dan membuka file rekaman suara Nara.
“Kalau rekaman ini udah sampai ke Mas Ale, itu artinya aku udah nggak ada. Kuharap, nggak akan ada lagi yang mengalami hidup sepertiku setelah ini.”
Dengan kesal, Gilang menekan keyboard kuat-kuat untuk menghentikan rekaman tersebut. Tindakannya tersebut segera mendapatkan protes dari Ale.
“Gue udah muak, ya, Le. Lo kalau nggak bisa beneran profesional, mending berhenti aja jadi produser.”
Tak acuh, Ale kembali memutar rekaman. Baru sedetik terputar, Gilang kembali menghentikannya. Jika ada yang bilang laki-laki selamanya anak-anak, tentu saja itu benar. Pertengkaran kekanakan Ale dengan Gilang, tidak akan berhenti sebelum ada yang mau mengalah, atau ada orang lain yang membuat salah satunya mengalah. Sayangnya, untuk saat ini, kedua opsi itu terlihat mustahil. Tidak ada tanda-tanda akan ada orang yang datang ke ruangan itu. Sehingga membuat keduanya leluasa saling melampiaskan kekesalan.
“Lo tuh susah banget dibilangin. Kita punya SOP. Kita punya prosedur. Kalau emang lo mau bikin podcast baru, atau bikin musim kedua whatsoever, ya minimal lo riset. Filter Kedua kan podcast investigasi, ya. Tapi lo malah berencana bikin podcast itu tanpa investigasi lebih dulu. Cuma modal rekaman suara, lo mau ngelempar materi apa ke audiens?”
Ale tersenyum miring. Kekhawatiran Gilang tentu saja sangat beralasan. Namun, dia juga memiliki alasannya sendiri. “Lo nggak pernah tahu yang namanya cek ombak, ya?”
“Terserah mau lo namain apa. Gue udah peringatin lo. Kalau ada masalah apa pun, jangan pernah sangkut pautin sama gue.” Tanpa menunggu balasan Ale, Gilang gegas melangkah keluar dari studio.
Ale menghela napas. Jarinya kembali menekan tombol ‘play’, membuat rekaman yang sempat terjeda, kembali terputar.
“Manusia tidak pernah berubah. Satu hari dia jahat, selamanya dia akan menjadi jahat.” Gelombang frekuensi suara di layar PC menunjukkan pergerakan yang berbeda dengan suara sebelumnya. Ale tertegun, lantas menelan ludah dengan susah payah.
YOU ARE READING
#JusticeforNara
Mystery / ThrillerAlaya sudah pernah merasakan ketenaran berkat skandal viral. Kini, dia tidak akan menolak jika akan merasakan hal itu lagi. Karena itulah, saat menerima pesan suara dari seorang gadis misterius, Alaya bertekad akan menyelidiki dan mengungkap 'kebena...
