°열하나 : Like Returning Home°

Start from the beginning
                                        

Tak hanya kepalanya yang bergerak, bibirnya terbuka kecil pun hatinya membuncah merapalkan kalimat-kalimat yang mengartikan betapa kagumnya ia pada batang-batang pohon yang sekarang mengeluarkan cahaya berpendar-pendar. Menuntunnya melewati jalanan suram nan sunyi itu menuju ke sebuah sungai.

Iris gelap itu menelisik ke sekitar, mengamati sungai yang airnya sejernih kaca. Bahkan ia bisa melihat bebatuan dan ikan yang tengah berenang di dasarnya.

Bin mendekat, duduk pada halaman rumput basah tersebut. Mengamati aliran sungai yang terdengar merdu di telinganya. Laki-laki itu tersenyum, ia merasakan dirinya meringan. Sebuah ketenangan hadir tanpa diminta. Tak ada perasaan manusia yang biasa ia rasakan setiap harinya, seperti sakit, kesal, lelah dan sebagainya.

Rasanya kosong, tetapi menenangkan. Seolah-olah ia telah pulang. Kembali ke rumah yang benar-benar disebut rumah.

"Aku merasa lebih hidup di sini," ucapnya sembari bangkit dari duduknya. Kini benar-benar mendekat ke tepi sungai. "Apakah airnya bisa diminum?"

Belum sempat Bin menyentuh air sungai itu, suara langkah yang mendekat membuat tangannya mengambang di atas air. Kepalanya tertoleh, melihat siapa gerangan yang kini menyambutnya.

Bin menyeringai tatkala orang itu tepat berada di hadapannya. Laki-laki itu segera menegakkan tubuhnya. Ia menilik orang itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Han Bindra. Itu namamu, 'kan?"

Bin mengangguk pelan, "Maja. Ah, wanita yang waktu itu?"

Laki-laki itu mengernyit, "Madam Lee? Itu yang aku dengar dari Heukjo. Benar, 'kan?"

Wanita itu tersenyum tipis, mengangguk pelan seraya melangkah ke tepi sungai. Mensejajarkan posisinya dengan Bin. "Kau tau? Aku tidak pernah bisa menerimamu."

"Ah, jinjja? Aku rasa sepertinya kau tidak bisa mengusirku," balas Bin kembali menyeringai tipis.

"Manusia terlalu percaya diri."

Bin terkekeh, "Kau sendiri bukan manusia? Ah, apa kau benar-benar pencipta tempat ini?"

Wanita itu kini menoleh, menatap Bin tanpa ekspresi. "Maka kau seharusnya tidak pernah masuk ke tempat ini."

"Aniya. Bukan aku yang masuk sendiri, melainkan keterikatan kita."

Wanita itu tak menjawab, justru ia berbalik. "Aku tidak pernah terikat dengan manusia menjijikkan. Dan sebaiknya kau cepat pergi dari tempat ini."

Setelah mengatakan itu, wanita itu melangkah pergi. Meninggalkan Bin yang tak mengerti dengan perkataan wanita itu. "Apakah dia memang bukan manusia?"

Bin menggeleng, ia tak ada waktu untuk mengurusi wanita yang datang dan pergi seenaknya itu. Bahkan sampai meninggalkan tanda tanya besar dalam benaknya. Ia tak ingin memikirkannya sekarang. Sebab, menikmati tempat ini adalah hal yang paling ia nantikan.

Laki-laki itu kembali mendapatkan bokongnya. Menekuk lututnya agar kakinya tak turun menyentuh air. Kemudian mulai mengamati ikan-ikan yang berenang bebas di bawah sana.

"Apakah menyenangkan menjadi ikan?" kekehnya melihat ikan yang terlihat seolah sedang berlarian, bermain dengan penuh tawa.

"Aku bisa mendengar kalian tertawa." Sudut bibirnya tertarik begitu saja. "Aku tidak ingin mempercayainya, tetapi melihat tempat ini membuatku percaya dengan apa yang aku dengar."

Kini Bin mendongak. Melihat kabut yang mulai menipis. "Sepertinya tempat ini benar-benar indah jika tanpa kabut, ya?"

Tak ada reaksi lain selain senyum yang mengembang yang menghiasi birai laki-laki itu. Kemudian menjatuhkan batang tubuhnya pada rerumputan yang masih basah. Mengamati langit-langit yang sepenuhnya adalah cabang-cabang pohon dengan daun lebat yang menutupinya.

"Rasanya tak asing dengan perasaan ini. Seolah pernah merasakannya," ucapnya sebelum menutup mata karena kantuk yang mulai menyerang. Tanpa tau bahwa itu pertanda ia akan kembali ke dunianya.

***

.

.

.

.

Epilog

Gubuk tua yang sunyi itu terlihat mencekam di malam hari. Terlebih terletak di tengah-tengah hutan. Membuatnya benar-benar tak pernah dijamah, selain oleh orang yang telah memburu Bin. Namun, berakhir diburu oleh laki-laki itu sendiri.

Suara pintu tua yang engselnya longgar membuatnya menggema, menakutkan. Namun, tak membuat langkah orang bersepatu kulit tebal itu memasuki gubuk tersebut. Bahkan langkahnya terdengar mantap dan tak ada suara, seolah telah profesional melakukan aksi mengendap-endap seperti sekarang.

Ia membungkuk, mendapati sesuatu yang tak asing. Lantas memungutnya dengan tangan yang terlapis sarung tangan hitam.

"Ternyata kau mengambil langkah seperti ini, Bin."

***



블러디 포털 (Bloody Portal)✔Where stories live. Discover now