XII. Inheritance of Ashes

3 2 0
                                        

Aku membuka mataku, Mike, Eros dan Xena ada di sampingku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku membuka mataku, Mike, Eros dan Xena ada di sampingku. Mereka masih pingsan. Perpustakaan hancur dalam ledakan putih, kami terjatuh dalam kehampaan.

Ruangan ini gelap, tidak ada awalnya dan tidak ada ujungnya. Kalau kau pernah melihat langit malam tanpa bintang, seperti itulah ruangan ini. Tidak terisi apapun selain kami yang terjatuh tanpa akhir ini.

Aku melihat mereka mulai sadar. Wajah mereka terlihat bingung, wajar saja. Kami hanya diam saling tatap, tidak ada dialog sama sekali. Jatuh kami berhenti, tapi kami tidak menginjak apapun. Rasanya seperti melayang, dan sebuah suara terdengar. Suara itu bercerita, tentang Zeus dan Kronos. Tentang mereka yang mendahului kami, eh tidak—aku. Cerita ini berbeda dengan cerita mitologi, apalagi kitab suci.

Cahaya-cahaya putih itu datang lagi. Tapi kali ini banyak sekali, seperti sulur-sulur tumbuhan yang menjalar. Aku tidak bisa menghitungnya. Sebuah layar muncul dan mulai menampilkan pertunjukan. Rasanya sama seperti menonton bioskop.

Di sana, sebuah pertarungan ditayangkan. Bukan pertarungan yang megah menurutku. Seorang pria tua dengan Himation putih, dengan segenggam petir pudar di tangannya. Berdiri di hadapan raksasa yang sangat besar.

Raksasa itu membelah langit hanya dengan satu gerakan jarinya lalu tertawa, “Apakah hanya segitu saja, Zeus? Menari lagi! Dan buatlah ayahmu ini bangga!”

Zeus hanya diam. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Matanya berubah, putih bercahaya. Di atasnya, sebuah bola petir sebesar matahari, menyala-nyala dan menggertak. Kronos? Dia hanya diam, tidak bergeser barang satu senti.

Zeus melemparkan bola itu ke Kronos, kena telak. Kepulan asap beterbangan, dan saat asap-asap itu menghilang. Di sana Kronos masih berdiri, raksasa itu menepuk-nepuk bahunya, menyingkirkan tanah yang beterbangan. Sesaat kemudian Kronos berada di depan Zeus dan hendak menghantamnya dengan kepalan tangan.

Dalam satu kedipan mata, pukulan itu menghantam angin. Zeus tidak ada. Hermes datang tepat waktu dan menyeret Zeus pergi dari sana. Melihat Zeus yang dibawa ‘kabur’ Hermes, Kronos dan para titan lainnya tertawa mengejek.

Tiba di Olympus. Dua belas dewa kulihat sedang menyalahkan satu sama lain.

“Gara-gara titan tua sialan itu! Aku jadi kehilangan lautan!” seru Poseidon. Dirinya mondar-mandir ke sana-kemari.

Hera yang baru saja duduk langsung berdiri, “Kita kunci saja bumi, supaya tidak ada lagi kejadian seperti ini.”

“Aku kurang setuju, itu justru menunjukkan kalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini!” jawab Hades. Tak lama kemudian Hermes dan Zeus tiba di sana.

Zeus dan Hermes hanya diam dengan wajah sedih, melihat pertikaian di depan matanya, Zeus memotong semua percakapan di sana, “Sesuatu harus dilakukan, hanya soal waktu mereka akan menyerang Olympus.”

“Kami tahu, tapi apa?” jawab Hera. Semua diam, berpikir keras.

Di tengah keheningan itu, aku melihat dewa kebijaksanaan, Athena maju satu langkah dan menyuarakan pendapatnya, "Bukan kekuatan dewa yang gagal. Tapi kita terlalu dikenang. Yang bisa menutup celah itu bukan kita,tapi manusia yang tak akan dikenang. Karena jika kita yang tak akan dikenang, kita akan kehilangan kekuatan kita.”

“Bagaimana itu mungkin?” tanya Hera.

Athena mengangguk dan menjelaskan, “Kenangan adalah inti dari kenyataan, dan dengan melakukan hal itu, kita mengorbankan kenangan akan seseorang untuk menghapus kenyataan ini, setidaknya kita bisa menunda kehancuran ini.”

“Apakah ada opsi lain?” tanya Zeus. Semua hanya diam dan menggeleng, tidak ada cara lain. Hanya itulah satu-satunya cara.

Zeus maju dan mengangkat tangannya, “Sudah diputuskan, ayo salurkan kekuatan kita untuk memilih seseorang, besok-besok kita akan adakan ujian untuk ini, tapi sekarang kita pilih saja siapapun yang paling menderita.”

Mereka mengangkat tangannya. Aku melihat berbagai sulur cahaya berkumpul dan muncul seorang anak di sana, anak kecil, mungkin dua belas tahun. Menangis, karena dia dipilih bukan karena rela, tapi dipaksa.

Cahaya putih bergerak cepat, mengubah ‘film’ yang sedang ditayangkan. Terlihat seorang wanita hamil besar, ada di lorong Athena, perpustakaan itu. Di sana dia melahirkan, tapi dia memilih mengorbankan dirinya. Supaya anaknya bisa hidup di dunia ini.

Cahaya putih bergerak cepat, ganti adegan lagi. Pria dengan tampilan seperti seorang penulis, dia penulis besar di zaman Mesir kuno. Banyak buku telah ditulisnya, tapi dia memilih untuk menjadi wadah pengganti, tumbal. Sejak saat itu bukunya dikenal banyak orang, tapi tak seorang pun mengenalnya. Tak seorangpun tahu, siapa yang menulis buku-buku itu.

Begitu saja seterusnya. Adegan-adegan berikutnya menampilkan saat-saat terakhir para wadah sebelumnya —sebelum aku.

“Oh tidak! Aku tidak mau! Aku belum menikah!” seru Xena. Akhirnya ada yang bersuara, dan aku mengerti. Kini mereka tidak kehilangan ingatan seperti sebelum-sebelumnya.

Eros menoleh ke Xena dengan menangis, “Kau kira aku mau? Aku juga belum menikah! Keluargaku bergantung pada penghasilanku yang tidak seberapa itu!”

“Heh! Mulut siapa itu, nanti ku potong gajimu ya! Kalian enak belum menikah, aku? Sudah dan aku punya seorang putri kecil, a-aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia hidup sebagai anak yatim!” seru Mike. Kulihat dia menangis. Baru kali ini seorang Mayor keras kepala sepertinya menangis.

‘Film’ itu selesai. Suara Zeus terdengar, “Pilihannya sudah dibuat. Tapi dunia belum tahu.Yang terpilih akan tahu … atau mungkin sudah? Satu hal yang pasti, ia akan berhenti mencoba mengingat siapa yang akan kehilangan dirinya secara harfiah, walaupun tidak ada yang kehilangan dirinya, karena secara hakikat memang tak pernah dimiliki siapapun.”

Cahaya putih menyilaukan mataku, lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, yang pasti aku tahu satu hal. Kalau wadah terpilih itu adalah, aku.

EPILOG ATHENAWhere stories live. Discover now