Nama seorang arkeolog Yunani muncul kembali di surat kabar setelah belasan tahun, mengejutkan dunia dengan temuannya. Di saat usianya menginjak 24 tahun, ia telah menggali terlalu dalam hingga menemukan sebongkah fakta tentang Kota Athena.
Fakta yan...
Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Aku Leon, aku akan bercerita kelanjutannya. Mereka semua terbangun seperti baru dilahirkan. Matanya kosong, gerak tubuh mereka pelan, seperti orang yang habis kehilangan mimpi tapi tak tahu mimpi apa yang hilang.
Xena duduk sambil mengusap pelipis. Mike menatapku seperti orang asing. Eros berdiri kaku, bola matanya bergerak cepat, bingung harus melihat ke mana. Aku bisa langsung menebak. Mereka kehilangan semuanya.
Bukan sekadar ingatan soal ujian atau tempat ini. Tapi semuanya. Hera, Poseidon, luka, pengkhianatan kecil, pengorbanan. Bahkan suara mereka sendiri di ruang-ruang yang semestinya sudah membuat kami lebih dekat. Hancur begitu saja.
Dan satu-satunya yang masih ingat adalah aku.
“Ini … kita baru sampai ya?” tanya Mike, suaranya datar.
Aku menahan napas sejenak. “Iya. Baru sampai.”
Tidak ada yang menolak, meragukan. Mereka percaya begitu saja. Di depan kami berdiri sebuah gerbang datar. Tidak menjulang. Tidak menyala. Tidak seperti lorong yang menunggu pahlawan, ini seperti pintu yang terlalu lelah untuk menyambut siapa pun.
Aku membuka tas tua yang sejak awal menempel di punggungku, dan mengeluarkan gulungan terakhir gulungan itu melayang dan sebuah suara terdengar.
“Bila hikmah datang sebelum pertanyaan, maka bisu adalah mata air waktu. Jika yang melihat tak menyuarakan, maka ia telah memilih menjadi ruang antara makna dan kehancuran.”
Kami melangkah masuk.
Ruangan pertama setelah lorong adalah aula batu berwarna kelabu. Datar, tidak tinggi, dan tidak memberi kesan agung. Tapi heningnya terasa menusuk. Seolah-olah semua suara yang pernah ada di dunia ini dikunci di tempat ini dan disuruh diam selamanya.
Eros menatapnya lebih lama. “Lucu. Kayak familiar tapi nggak tahu kenapa.”
Aku hanya diam. Aku tahu kalau aku bicara, semuanya bisa runtuh terlalu cepat.
Lalu kami sampai di tengah ruangan. Di sana ada panggung kayu. Kosong, berdebu, dan sepi seperti panggung pertunjukan yang aktor-aktornya sudah lama mati. Di atasnya terletak sebuah buku besar. Tertutup. Tak ada kunci, tak ada rantai, dan tak ada tanda bahwa buku itu ajaib. Tapi aku tahu buku itu menungguku.
Mike masih melihat-lihat ke arah pilar. Xena dan Eros sedang bercanda kecil, entah soal apa. Aku mendengar tawa Xena untuk pertama kalinya sejak kami masuk ke dunia bawah ini, dan itu justru membuat perutku mual.
Tanganku menyentuh permukaan buku itu. Sampulnya kasar, dan warnanya seperti tanah basah yang dibiarkan mengering. Tidak ada ukiran. Tidak ada judul. Tapi jari-jariku gemetar saat menyentuhnya.
Aku tahu, di balik halaman pertama itu, ada sesuatu yang tidak bisa kubagi. Sesuatu yang, sekali kulihat, tidak bisa aku hapus. Dan lebih dari itu, tidak bisa kusampaikan.
Aku tidak ingin tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan siapapun yang lain yang membukanya.
Lalu aku membuka buku itu.
Halaman pertama kosong. Tidak ada tulisan, tidak ada gambar, hanya lembaran tua yang bergetar samar di ujung-ujungnya. Bergulir perlahan, halaman demi halaman membuka satu per satu. Dan mulai dari halaman kedua, kalimat-kalimat itu muncul. Tidak ditulis dengan tinta, tidak terukir, tapi seolah dibisikkan langsung ke dalam pikiranku.
“Yang menjadi wadah tidak akan dikenang. Yang dikenang tidak akan menjadi wadah.”
“Hanya satu jiwa yang dapat menampung sisa-sisa kekuatan para dewa yang telah patah sumpahnya. Satu, dan hanya satu, untuk menjadi segel terakhir antara dunia dan kehancuran.”
Halaman berikutnya mulai menunjukkan gambar. Bukan lukisan, tapi bayangan bergerak, seperti ingatan dunia yang diputar ulang. Aku melihat para Wadah sebelum kami. Anak-anak, remaja, orang tua. Ada yang rela, ada yang dipaksa. Beberapa dipuja bak dewa, tapi tak satupun dikenang lebih dari satu generasi.
Ada yang mencoba melawan. Tapi melawan hanya mempercepat kebangkitan Kronos. Ada yang memilih diam, dan menghilang dari sejarah.
Lalu aku melihat sesuatu yang membuat nafasku berhenti.
Aku melihat diriku sendiri. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika aku melihat wajah Sophia menatap ke arah seseorang, tapi bukan aku.
Aku menutup buku itu. Tanganku masih bergetar, tapi bukan karena takut. Ini jenis gemetar yang muncul ketika kau tahu tidak ada lagi jalan pulang, dan kau tetap melangkah juga.
Aku menatap ke arah panggung, dan melihat ketiganya masih di sana. Tertawa kecil. Tak sadar, aku menyadari, mereka tidak akan pernah tahu apa yang barusan kulihat. Bahkan jika mereka bertanya sekalipun.
Mike menoleh. “Leon? Kau menemukan apa?”
“Bukan sesuatu yang perlu kalian tanggung,” jawabku.
Aku meletakkan buku itu kembali di atas meja. Saat itu juga, lantai di bawah kami mulai bergetar. Lalu udara menghangat. Suara asing mulai merambat dari langit-langit batu di atas kepala kami. Seperti seseorang sedang memanggil sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.
Sesuatu pecah. Suara pertama datang bukan dari tanah. Tapi dari atas.
Langit-langit perpustakaan yang sebelumnya senyap mulai bersinar samar. Bukan cahaya terang, tapi semacam retakan tipis seperti kaca yang terlalu lama menahan tekanan. Aku menengadah, dan perasaanku runtuh seketika.
Ada cahaya hitam menyusup dari balik celah itu. Cahaya yang tidak seharusnya ada. Cahaya yang terasa seperti sesuatu yang dulu pernah dikurung oleh dunia, dan sekarang sedang meregangkan tubuhnya untuk kembali bangkit.
Xena menoleh ke arah suara. Eros dan Mike langsung waspada.
“Apa itu?” tanya Xena, suaranya berat.
Aku tidak menjawab. Karena pada saat itu, satu bagian dari langit runtuh, bukan seperti debu, tapi seperti sobekan dari kertas tua. Di baliknya, kami bisa melihat—dunia lain. Atau mungkin dunia kami sendiri, dari kejauhan.
Kami melihat daratan yang pecah, langit yang berubah merah keunguan, seperti daging segar, dan bentuk tubuh raksasa yang perlahan bangkit dari dalam bumi. Sesaat, segalanya menjadi terlalu sunyi.
Mike menarikku. “Leon, itu di luar sana. Itu … itu dunia nyata, kan?”
Aku mengangguk.
Eros melangkah ke depan. “Berarti… kita terlambat?”
Tak ada yang perlu kujawab. Mereka bisa melihatnya sendiri.
Dari balik retakan langit itu, makhluk itu—Kronos—telah bangkit. Bukan sekadar bayangan atau sosok mitologis. Tapi nyata. Raksasa yang seluruh tubuhnya seperti dibentuk dari batu, waktu, dan dendam ribuan tahun. Setiap gerakannya menyebabkan gempa. Setiap tatapannya membakar langit.
Dan kami masih di sini, memilih, belum selesai. Padahal waktu sudah habis.
Langit ruangan itu mulai berderak makin keras. Kursi-kursi bergeser sendiri. Dinding perpustakaan menegang seperti akan meledak.Aku tahu ini bukan ujian terakhir.
Ini adalah penghakiman. Tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi siapa yang layak jadi wadah. Dunia sudah memutuskan sendiri siapa yang bersedia dan layak.