Setelah perbincangan singkat lewat chat pagi ini, hari Arya pun kembali berjalan seperti biasa. Online meeting dengan beberapa klien, site visit bersama tim. Semua berjalan tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya.
Suara mesin cetak dari ruang drafter, lagu-lagu Arctic Monkeys yang mengalun lewat pengeras suara di salah satu meja kerja staff, dan juga tumpukan pekerjaan yang masih menunggu untuk Arya selesaikan.
Sampai tiba saatnya dia tersadar kalau sudah melewatkan jam makan siang. Jam tiga sore. Sudah terlalu sore untuk makan siang, tapi juga masih terlalu cepat untuk makan malam. Tapi perutnya yang hanya diisi seporsi nasi uduk tadi pagi sudah mulai berteriak menuntut haknya. Akhirnya Arya memutuskan turun ke lantai dasar gedung tempat kantornya berada.
Menuruti keinginannya yang tiba-tiba memikirkan pastry untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Almond croissant-nya masih ada?" Tanyanya pada pegawai kafe yang berada di balik meja kasir.
"Ada, Kak. Mau berapa?" Pegawai kafe itu bertanya balik.
"Satu aja. Sama flat white-nya satu." Kemudian Arya mengeluarkan kartu dari dompetnya dan menyerahkannya pada pegawai kafe itu.
Padahal Arya bukan tipe orang yang menyukai makanan manis, kecuali buatan Anan. Kalau produk buatan Moonlight, Arya pasti tidak akan bisa menolak. Tapi entah kenapa sore ini dia 'ngidam' almond croissant. Sampai akhirnya dia teringat, kalau semalam Nala sempat menyebut makanan itu di dalam percakapan mereka. Bukan bagian obrolan mereka yang 'penting' sebenarnya, tapi tetap saja nyangkut di memorinya.
Begitu kembali ke kantor, Arya duduk di ruangannya, membuka file CAD, lalu mulai menyempurnakan detail maket yang belum sempat ia garap semalam. Namun di tengah layar yang penuh garis dan kotak, pikirannya justru melayang. Tidak lagi dipenuhi oleh revisi yang sempat mengejarnya, tapi justru diisi oleh sebuah tawa pelan yang ia dengar di video call tadi malam.
Beberapa kali Arya harus menggelengkan kepala, untuk menepis pikiran-pikiran yang tidak seharusnya mampir ke kepalanya. Tapi baru beberapa menit berjalan, pikiran-pikiran itu muncul lagi. Saat Arya menyesap kopi, dia tiba-tiba ingat Nala yang mengatakan kalau suara cutter-nya yang membuat tenang. Saat Arya melihat sinar matahari yang jatuh ke maket, dia teringat komentar Nala pada postingan foto sunrise Gunung Batur di Instagram-nya.
Tidak ada yang istimewa padahal. Tapi kenapa malah susah lepas dari pikiran? Rasanya seperti semua hal itu masuk bahkan tanpa mengetuk. Pelan, nyaman. Seolah semua itu memang sudah ada di dalam sana sejak awal.
Arya berhenti sejenak. Menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Lalu membuka tab lain, namun ia tutup lagi. Kemudian beralih ke ponsel, iseng membuka percakapannya dengan Nala di Instagram semalam.
Lalu ia tutup lagi.
Kembali kerja lagi.
Parahnya lagi, setiap kali tangannya bergerak menekan tombol mouse dan mengarahkan kursor di layar laptop, ada suara lain yang menempel di kepalanya. Satu pertanyaan singkat yang belum sempat ia tanyakan semalam.
Lo mimpi buruk soal apa, La?
Arya tidak berani menanyakan itu semalam, karena dia paham betul rasanya ditanya ketika belum benar-benar siap untuk bercerita. Arya tidak mau membuat Nala tidak nyaman dengan rasa penasaran yang ia punya. Tapi sekarang, setelah pagi datang dan semua kembali berjalan seperti biasanya, justru malah satu pertanyaan itu yang tertinggal di pikirannya.
***
Siang itu, langit mendung tapi belum hujan. Gedung baru milik Baskara berdiri dengan megah di sisi jalan besar. Masih menyisakan bau cat yang baru selesai dipoles ke dinding. Di dalamnya masih belum banyak furniture, karena Baskara memang menunggu Arya dan timnya yang mengatur interior gedung ini.
Tidak lama, Nala datang bersama dua orang dari timnya, Dewa dan Adit, si anak dokumentasi yang selalu membawa kamera ke mana-mana tanpa diminta.
Arya sudah menunggu di depan lobby gedung. Kemeja berwarna biru langitnya digulung sampai siku, dengan rambutnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin. Begitu melihat rombongan Nala datang, Arya refleks melambaikan tangan, dan senyum kecilnya ikut terbit seperti biasa.
"Selamat datang di rumah baru," katanya sambil membuka pintu kaca yang menjadi akses ke bagian dalam gedung.
"Rumah?" Nala mengangkat alis. "Gede amat buat disebut rumah."
Arya nyengir. "Kantor juga kan, bisa jadi rumah kedua. Tergantung siapa yang ngisi."
Dewa hanya tertawa kecil sambil melihat sekeliling, tapi Nala malah terdiam. Entah kenapa, kalimat itu menempel di kepalanya. Lagi-lagi gaya bicara Arya yang santai menimbulkan efek lain di dirinya.
Arya membawa Nala, Dewa dan Adit berkeliling dari lantai dasar sampai ke area halaman belakang, area utama tempat acara reopening akan digelar. Nala berjalan pelan sambil mencatat hal-hal penting. Menandai posisi lampu, alur tamu, hingga kapasitas ruangan. Tapi di sela-sela kegiatannya, tanpa sadar ia sesekali mencuri pandang ke Arya yang terlihat sibuk ngobrol dengan Dewa.
Di pinggir kolam ikan yang terletak di sudut halaman belakang, Dewa lanjut berdiskusi serius dengan bagian building management, dan Adit sibuk memotret sudut-sudut gedung sebagai bahan referensi penentuan konsep dekorasi.
Nala dan Arya akhirnya berdiri berdua di bawah pohon Tabebuya dengan bunganya yang sedang bermekaran, berwarna merah muda.
"Akhirnya lo yang pegang juga ya," kata Arya, menoleh ke Nala. "Gue seneng, sih."
Nala mengangguk pelan. "Tapi sebenernya deg-degannya sih, ada juga, Ar."
"Ya bagus dong," jawab Arya. "Berarti lo excited."
Nala menatap bunga Tabebuya yang menggantung di atas kepalanya. Lalu dengan suara pelan dia bergumam, "Semalem gue mimpi buruk lagi."
Arya menoleh. Tapi tidak berniat memotong. Tidak yakin kalau ucapan Nala barusan memang ditujukan kepadanya. Mengingat pelannya suara yang gadis itu keluarkan.
"Tapi gue bangun dengan perasaan nggak seberat biasanya," lanjut Nala. "Mungkin karena malam sebelumnya gue nggak sendirian."
Arya diam sejenak, lalu tersenyum kecil. Akhirnya merasa yakin kalau Nala benar sedang bicara kepadanya. "Gue nggak ngapa-ngapain padahal."
"Nggak usah ngapa-ngapain juga udah cukup."
Keduanya sama-sama tidak bicara selama beberapa detik. Tapi anehnya, keheningan itu tidak canggung sama sekali. Malah seperti jeda yang mereka butuhkan untuk menyerap apa yang baru mereka ucapkan satu sama lain. Sampai akhirnya Dewa teriak dari ujung halaman, meminta Nala untuk mengecek sesuatu.
Nala akhirnya pergi lebih dulu. Tapi sebelum pergi, dia sempat menoleh ke Arya dan tersenyum sekilas. "Thanks buat kemaren," katanya pelan.
Arya mengangguk. "Anytime."
***
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
Anytime
Start from the beginning
