PROLOG

45 36 4
                                        


"Dunia terasa sunyi sejak kau tiada. Tapi kenanganmu selalu berbisik lembut di setiap hembusan napasku."

- gladis

- gladis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Dunia ini ternyata sulit ditebak.
Banyak sekali hal-hal yang terjadi di luar rencana dan harapan gue. Kadang, hidup terasa seperti jalan panjang yang sudah gue gambar dengan rapi—dengan tanda panah ke sana-sini, dengan harapan setiap tikungan membawa kejutan manis. Tapi nyatanya, seringkali arah itu berubah secara tiba-tiba. Seperti ada tangan tak terlihat yang menghapus peta di kepala gue, lalu menggambarnya ulang dengan jalan yang penuh lubang, kabut, dan belokan tajam.

Salah satu perubahan paling menyakitkan dalam hidup gue adalah kepergian kedua orang tua. Kepergian yang bukan karena waktu, bukan karena usia, tapi karena kecelakaan. Dan sampai sekarang, bayangan tentang malam itu masih membekas jelas di kepala gue. Setiap malam, ingatan itu datang seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai. Bahkan ketika mata sudah memaksa tertutup, suara dentuman itu masih menggema di telinga gue.


Flashback on

Malam itu, mobil keluarga kami melaju mulus di atas jembatan Viaduct, Bandung. Langit tampak bersih, lampu kota berpendar indah, dan suasana di dalam mobil terasa hangat, meski hanya berlangsung sebentar.

“Selama Mama sama Papa pergi ke luar negeri, kalian yang nurut ya sama Bibi. Makan yang teratur, jangan suka begadang.”
Itu pesan Papa kepada kami malam itu, dengan suara khasnya yang lembut namun tegas.

Gue duduk di kursi belakang bersama saudara kembar gue, Zoe. Kami berdua memang sudah terbiasa mandiri, tapi tetap saja, kepergian orang tua selalu membawa kekhawatiran.

“Yaa elah, Pa... Zoe sama Zeo kan udah besar,” jawab Zeo dengan nada santai sambil menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Kalau soal itu sih udah bisa jaga diri lah.”

Papa tertawa pelan. “Iya, Papa ngerti... Papa cuma khawatir aja sama kalian.”
Sambil bicara, Papa menoleh ke belakang, mengarahkan senyum hangat ke Zeo, lalu mengusap pelan rambutnya. Sentuhan itu seperti ucapan selamat tinggal yang halus... dan gue nggak tahu kalau itu akan jadi yang terakhir.

Di samping Papa, Mama duduk dengan mata yang sibuk menatap layar ponselnya. Sejak dulu, Mama adalah sosok pekerja keras. Ia menjalankan bisnis online dan hampir setiap waktu harus melayani pelanggan. Tapi malam itu, ekor matanya tiba-tiba menangkap sesuatu.

Seorang pria tua—berjalan perlahan, nyaris terseok—menyebrang di tengah jembatan. Dan jaraknya hanya beberapa meter dari mobil kami.

“Pa... Papa...!” seru Mama tiba-tiba, nada panik langsung muncul dari suaranya. “Itu ada orang, Pa...!”

Papa langsung menoleh cepat ke depan, melepaskan tangannya dari kepala Zeo, matanya membelalak kaget. Semua terasa seperti adegan yang dipercepat... dan di waktu yang sama, semuanya juga terasa seperti berhenti.

The Deadly Bloom [ 𝕙𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 𝕤𝕖𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣𝕒 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang