"Dia bantuin kok, Yah. Aku cuma lagi capek aja, ditambah ini-" ia menunjuk perutnya, "bawa cucu ayah ibu. Nanti kalau Gano tahu, dia bisa nyusulin. Artinya, aku gak istirahat dong."
Aji menghela napas. "Apapun yang terjadi Ayah akan selalu di samping kamu, Nak."
Melani hanya tersenyum mendengarnya. Dia bersyukur memiliki kedua orang tua yang suportif.
•••
Pagi ini, Melani merasa sangat mual dan pusing. Obat yang biasa ia konsumsi untuk pereda mual telah habis. Namun, tak ada satupun orang di rumah yang bisa ia mintai tolong sehingga mau tak mau, ia berjalan sendirian ke depan. Beruntung, apotek berada tak jauh dari rumah.
"Terima kasih ya, Mbak." Ucap Melani usai menerima obatnya. Lalu, berjalan kembali menuju rumah. Ia harus segera minum obat jika tak ingin dehidrasi karena terus muntah.
"Melani?" Panggil seseorang yang membuat perempuan itu menoleh dengan mata yang membesar seolah baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan. Pria itu adalah Gano, suaminya.
"Sayang.." Gano mengembuskan napas lega. Ia mencoba meraih istrinya, tapi perempuan itu bergerak mundur. "Kamu kenapa?"
Melani tak menjawab, tetapi kembali mengambil langkah mundur sebelum berbalik dan pergi dengan cepat.
"Sayang, hati-hati!"
"Demi Tuhan, Melani!"
Lelaki itu terus berteriak melihat istrinya yang terus berlari.
Dia takut jika Melani akan tersandung dan terjatuh. "Aku gak akan ngejar kamu."
Namun, perempuan hamil itu tidak peduli dan terus berjalan hingga berhenti di halte yang tak terlalu jauh dari sana. Untungnya, Gano tak lagi mengejar, pria itu berdiri di tempat terakhirnya dan menunggui istrinya yang entah akan kemana atau melakukan apa lagi.
Sementara Melani, ia beberapa kali menoleh dan mendapati suaminya masih berdiri di tempatnya. Dia ingin pulang tapi ia yakin jika Gano tak akan melepaskannya. Melani belum ingin bertemu secepat ini.
"Sayang, aku minta maaf kalau sikapku beberapa minggu lalu menyebalkan sampai membuat kamu terluka. Anak-anak juga menyesal sudah cuekin kamu. Anin sama Ilyas cemburu karena kamu jadi Ibu dari anak duda itu." Pekik Gano, tak peduli jika keadaan rumah tangganya diketahui oleh orang sekitarnya. "Dan aku-"
"Diem! Berisik!" Seru Melani merasa malu karena beberapa orang mulai melihat ke arahnya dan Gano bergantian.
Gano memilih bungkam dan terus mengamati istrinya selama puluhan menit lamanya hingga ia mulai merasa jenuh. "Kamu mau nunggu sampai malam pun, aku akan tetap di sini. Kamu pesan ojek pun, akan tetap aku ikutin. Walau hujan badai dan bikin badan aku sakit, aku juga tetap disini."
"Sana pergi!" Seru Melani kesal. Keadaan ini membuatnya ingin menangis. Dia ingin pulang tapi dia tak ingin Gano mengikutinya.
"Sayang, kamu ingat kan janji kamu ke aku. Kamu gak akan bisa meninggalkan anak-anak dan kamu janji gak akan pernah pergi dari aku." Gano mengingatkan. "Kamu melanggarnya, tapi gak apa-apa, aku memaafkan kamu kali ini."
Melani tetap bungkam. Ia mendengar tapi tak mau menatap ke arah suaminya itu. Lama kebungkaman di antara mereka, Melani menoleh dan menemukan Gano yang berjalan mundur menuju motornya. Matanya terus menatap setiap gerakan suaminya itu, meski ia tahu kelanjutannya.
"Pulang, Gano. Aku gak mau ketemu kamu." Kata Melani saat Gano telah berada di depannya usai memarkirkan motor di pinggir halte.
"Aku memaksa kamu untuk ketemu aku."
"Kenapa?" Gano menaikkan alisnya, "kenapa kamu melakukan ini?"
"Pertanyaan kamu konyol. Ya jelas aku mau jemput kamu, bawa kamu pulang."
"Buat apa, Gano? Bukannya aku gak ada artinya bagi kamu?"
"Apa maksudnya itu? Kamu jelas ada artinya. Kamu istriku."
"Istri?" Melani mendengus. "Kalau aku suruh memilih, siapa yang akan kamu pilih? Aku atau anak-anak kamu?" Tanyanya menantang.
"Kamu-" Gano kehilangan kata, dia hampir saja mengumpati perempuan dihadapannya. "Sekarang aku balik, kenapa kamu mau menikahi aku dulu? Bukannya demi anak-anak?"
"Itu dulu sebelum kamu dan mereka mengacuhkan keberadaanku. Aku mencoba yang terbaik tapi kalian gak menghargai aku. Aku gak bisa jadi Ibu mereka lagi." Melani menunduk, "kamu benar, Gano. Aku egois, aku gak bisa jadi sesosok Ibu yang seutuhnya bagi mereka dan gak akan pernah bisa menggantikan sesosok Ibu mereka yang asli."
"Aku udah jelasin kan kalau anak-anak cuma cemburu. Mereka nunjukin ke kamu kalau mereka marah sama kamu." Kini, lelaki itu berjongkok di bawah seraya menatap wajah istrinya sendu.
"Berminggu-minggu? Aku salah apa? Bukannya itu berarti anak-anak kamu yang egois?"
Gano menggigit bibir bawahnya. Tidak bisa menjawab dan tak ingin menjawab.
"Aku gak bisa bertahan lagi. Kamu harus memilih. Bukannya kamu bilang Mbak Dea adalah Ibu terbaik yang lebih bisa mengurus mereka? Suruh dia merawat anak-anak. Jangan aku lagi. Aku belum punya anak, aku belum berpengalaman dan aku belum bisa merawat anak-anak sebaik Mbak Dea. Maaf, tapi kamu harus memilih mempertahankan anak-anak dan kita pisah atau hanya aku." Ucap Melani terdengar lirih.
"Kamu mau menghukum aku kan?" Tanya Gano yang dijawab dengan gelengan kepala. "Aku memang bukan suami yang baik selama ini, tapi bukan berarti aku harus bertindak lebih jahat lagi dengan merelakan anak-anak."
"Jadi, kamu pilih anak-anak? Kamu mau kita pisah?" Meski sudah tahu jawabannya, hatinya masih saja terluka.
"Aku salah. Aku gak pantas memiliki kalian. Aku bisa saja merelakan anak-anak dan memilih bersama kamu, tapi bukankah itu egois, Mel?" Ujar Gano terluka. "Kita baru saling mengenal selama setahun terakhir dan kamu harus menjadi pihak yang membuatku kehilangan harta paling berharga yang kujaga mati-matian selama ini. Itu gak mungkin." Melani memalingkan wajah, "tapi-" diraihnya kedua tangan lembut itu, "bagaimana bisa aku hidup tanpa kamu, sementara setiap detak jantungku berteriak membutuhkan kamu? Aku mati di dalam sini, Mel."
"Tapi, kenapa kamu nyakitin aku?!"
"Aku gak pernah bermaksud nyakitin kamu." Gano menunjuk dadanya, "aku-"
"Bodoh!" Maki Melani setelah menampar wajah suaminya. "Kenapa nangis sih? Kan kamu kelihatan tua. Kamu harusnya tetap jadi pria egois supaya aku bisa marah-marah." Ujarnya seraya mengusap bulir-bulir air mata yang turun membasahi wajah tegas itu.
Gano menelusupkan wajah ke perut Melani dan melingkarkan kedua tangan di pinggang ramping itu. "Mama kamu jahat banget, Dek. Sayang banget Papa gak bisa benci dia."
Baik Gano maupun Melani mendengar suara yang mendadak muncul itu. Melani tersenyum malu kala suaminya mendongak menatapnya. "Aku lapar, Gano. Anterin pulang."
"Jadi, boleh aku tahu tempat kamu melarikan diri?"
"Gak melarikan diri, dasar aja kamu yang bego!"
"Astaga, Sayang. Jangan tiruin Mamamu ya, Nak." Dikecupnya perut sang istri dengan sayang.
•••
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Hellowww~~
Melani balik lagi nih ehee
Jadi, dimaafin gak nih? Atau mau lanjut marah aja?
YOU ARE READING
One Plus Three
RomanceApa yang terjadi jika kamu harus menikah dengan tetanggamu sendiri? Terlebih, jika sesosok itu adalah pria dewasa dan seorang duda.
Part 15
Start from the beginning
