Bab 1

20 5 3
                                        

Ada sunyi yang memilih Lavender, ada hujan yang memilih membisu. Karena terkadang suara bukan berasal dari mulut dan tubuh bicara lebih lantang.
.
.
.
.
.

Ruangan seluas 12 meter itu terasa hangat dan tenang, samar-samar aroma lavender tercium di udara bercampur dengan suara detak jam di dinding. Di hadapan meja kayu sederhana, seorang perempuan muda duduk di atas sofa dengan kedua tangan bertaut erat berusaha mengurangi rasa tegang. Matanya menatap ke depan ke arah bunga lavender yang terletak apik di atas meja.

Di depannya duduk pria muda mengenakan jas berwarna putih dengan ekspresi lembut sabar menunggu jawaban dari perempuan muda, pena di tangan siap mencatat. 

"Jadi... bagaimana perasaan Nona sejak terakhir kita bertemu?" tanyanya dengan suara menenangkan. 

Ruangan itu lenggang. 

"Nona, kamu mendengarku?" Dokter bertanya lembut. Wajah perempuan di depannya terlihat santai namun mulutnya terkunci rapat, enggan menatap mata lawan bicara.

Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah lain sekali lagi berusaha mencari ketenangan, matanya terpaku pada rak buku yang tertata rapi, pada beberapa titik  tanaman hias diletakkan sebagai pemanis. Tanaman berwarna hijau nan mungil. Terlukiskan dengan satu kata, itu cantik.

"Tidak apa jika kamu ingin menangis." Dokter menatap matanya teduh, sambil mencatat beberapa kata. "Nona... menangis tidak membuat seseorang menjadi lemah..." Ucapnya diam sejenak memberikan ruang lebih.

"...terkadang mereka yang menangis adalah orang paling kuat." Sambungnya mengamati reaksi perempuan di depannya.

Sejak awal duduk tangan perempuan di atas sofa tidak berhenti gemetar. Persis ucapan dokter selesai, Dia mulai kehilangan fokus. Mulutnya terbuka beberapa kali ingin mengucapkan sesuatu namun urung.

 Perempuan itu Raina, dia diam. Tidak menjawab. Lidahnya terasa kelu, kata-kata seolah tersangkut di ujung lidah.

Dalam diam yang bising perempuan di atas sofa hanya mampu menatap sosok di depannya, tanpa sepatah kata terucap. Mata sayu itu hanya menatap sebentar. Cukup untuk mengatakan, aku mendengarmu.

Dava tahu arti tatapan itu. Meski hanya sebentar, cukup untuk tahu bahwa dibalik mata itu ada badai yang tengah berusaha untuk tenang.

Wajah yang tenang. Terlampau tenang untuk seorang perempuan berumur 18 tahun.

"Raina..."

Suara lembut terdengar di ruang yang telah lama hening. Seolah menunggu sang pemilik membuka pintu, meski itu hanya sedikit celah. Pelan dan penuh perhatian.

Kapan terakhir kali seseorang menatapnya seperti itu? Raina tidak tahu.

Rasanya aneh.

" Aku... tidak tahu." Ucap Raina pelan sambil mengalihkan pandangan. Ia tidak membencinya hanya... bingung. Apa alasan di balik tatapan Dava?

Different Color in Tick Time Where stories live. Discover now