Hari kedua setelah resmi menyandang status sebagai istri dari Sastrawan Abadi Sitepu, akhirnya Asmara bisa menghirup udara luar—di luar rumah maksudnya, capek juga berpura-pura manis di depan mertua.
Pagi-pagi sekali suaminya sudah mengatakan akan pergi, ditanya pergi ke mana malah melengos nggak dijawab. Sampai Asmara menarik kesimpulan yang sangat... mungkin dilakukan oleh pria kalem nggak banyak omong ini—pasti mau nyulik dia ke hotel. Hahaha... dasar kaku.
Asmara tahu, dia pasti ngebet membawa Asmara pergi honeymoon. Ke hotel bintang lima di Medan sini aja? It's okaylaah.... Kalau di rumah Sastra pasti malu. Padahal sekalipun dia memaksa Asmara berciuman, wajahnya bukan yang jelek-jelek amat, walaupun sepertinya janggutnya akan memberikan efek rada-rada geli. Tapi Asmara penasaran juga dengan rasanya. Batin Asmara terkikik nakal.
Tapi, tunggu dulu, dia kan duda, sudah pernah nikah sampe sepuluh tahunan, bohong banget nggak ada pengalaman di ranjang. Astagaaa... Asmara langsung melirik tajam ke duda lapuk yang sedang menyetir—eh, bukan duda lagi. Apa jangan-jangan gaya yang mereka lakukan seperti batang pohon yang tindih-tindihan? Asmara menganga ngeri. Pantas saja diceraikan istrinya—yah, meski semua orang mengatakan karena istrinya tidak bisa memiliki keturunan, tapi Asmara nggak yakin, urusan ranjang pasti yang menjadi alasan utamanya!
Asmara mengibaskan rambutnya, kembali mengedarkan pandangannya di jalanan panjang yang di sekeliling hanya ada pemandangan pohon sawit. Mimpi apa dia akan hidup di daerah seperti ini lagi, tubuhnya bergoyang karena jalanan berlubang duduk di dalam Innova lama. Sialan emang, dari sekian banyak mobil bagus di garasi mertuanya, suaminya memilih mobil ini.
Anak tunggal, punya banyak fasilitas, kenapa sih malah pengen banget keliatan sederhana. Dasar bego. Eh... malah biarin orang tuanya angkat banyak anak. Apa sih yang ada dipikirannya? Otak Asmara tak henti mengomel.
Asmara mengangkat dagu tinggi. Kalau suaminya mau gaya bercinta yang fantastis dari dirinya, maka bayarannya akan sangat mahal. Lihat saja, paling lama setahun dia sudah harus punya—minimal HRV atas nama dia sendiri. Setelah tahun kedua atau ketiga, dia akan meminta Lexus? Hm... ide bagus. Yang jelas, dia akan mengeruk harta Sastra sebanyak mungkin sambil menunggu Ernando keluar dari penjara, dan dia akan kembali hidup dengan gemerlapnya ibukota, atau keluar negeri sekalian. Kalau Sastra memohon-mohon agar dia tak pergi, yeaah... bayarannya berhektar-hektar ladang sawitnya, atau sekalian sama pabrik sawit Bapaknya.
Asmara berdecih, tersenyum miring, ketika melirik suaminya dia mengerjap-erjap, berdeham dan kembali menormalkan ekspresinya.
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Asmara basa-basi.
Melihat pria yang di sampingnya tetap diam, Asmara memutar bola mata. Dasar bodoh, mereka kan hanya sedang berdua, jadi Asmara tak perlu pura-pura lembut. Asmara tahu Sastra mau sok menghukumnya dengan bersikap dingin karena pernikahan ini hasil usaha perjodohan ibunya. Tapi mana Asmara peduli, lihat saja nanti sampai dia bertekuk lutut di kaki Asmara.
Asmara melipat tangannya, lebih baik dia tidur.
Asmara tidak sepenuhnya tidur. Dia bisa merasakan jalanan mulai mulus. Ada keuntungannya juga nih disopirin sama cowok spek bapak-bapak, laju kendaraan slow... bikin ngantuk beneran.
Kelopak mata Asmara baru terbuka terang benderang begitu dia sadar ini sudah di kota. Alis Asmara terangkat, apa dia minta singgah ke mal aja dulu ya? Alasan laper gitu.
Asmara berdeham. "Laper nggak sih?" gumamnya, sambil meliarkan bola mata, melirik singkat ekspresi suaminya. Yang... tetap mengarah ke depan itu.
Namun, pancingan Asmara sepertinya berhasil, suaminya tersebut tampak melihat jam tangan.
YOU ARE READING
Menolak Asmara
RomanceDalam hidup Asmara Seroja hanya uang yang membuatnya bergairah. Pria yang menarik di matanya hanya pria yang berdompet tebal. Asal bukan suami orang, tua muda tak jadi masalah. Memiliki pasangan kaya raya, adalah harga mati. Dia tak ingin hidup misk...
