2

867 117 15
                                        

Waktu berlalu bukanlah hal mudah bagi Lana menjalani kuliah beserta kerja full time. Dia banyak mengambil kelas pagi karena hanya di pagi hingga siang hari dia terpisah dari Trisha, sementara sepulang bocah itu sekolah sampai tidur malam, Lana harus mengurusnya.

Belum banyak yang berubah dari hubungan Lana dan Trisha. Trisha masih seperti biasa, hanya saja perlahan Lana menyadari anak itu selalu sendiri dan senang mengurung diri di kamarnya.

Hari pertama bekerja, cobaan sudah datang menghampiri si gadis belia. Nona muda keluarga Wiyandi ini ternyata sulit sekali bangun pagi.

Sejak subuh Lana sudah berusaha membangunkan tapi tidak ada tanda-tanda Trisha akan membuka matanya. Jika terus seperti ini dia akan telat ke sekolah.

"Trisha... Bangun Trisha, kamu harus sekolah" entah sudah percobaan keberapa kalinya, tapi Trisha hanya bergumam dan berbalik memunggungi Lana.

Lana berdecak kesal. Kesabarannya sudah diuji bahkan sebelum matahari terbit.

"Trishaaaa, ayo dong. Bangun ya, baju sama sarapan kamu udah aku siapin. Ayo bangun terus mandi" dengan ragu Lana menepuk pelan pundak Trisha, tapi hasilnya tetap sama.

Lana memutar otak, bagaimanapun Trisha harus bangun kali ini.

Perlahan Lana naik ke kasur dan mendekatkan wajahnya ke telinga Trisha lalu berbisik dengan lembut, "Trishaaaa, bangun, yuuuk."

Ajaib! Perlahan kelopak mata itu terbuka, sedikit memicing menyesuaikan cahaya yang masuk ke netra hitam itu.

Lana tersenyum lebar, akhirnya bangun juga. "Selamat pagi, Trisha. Bangun, yuk. Mandi, habis itu sarapan terus ke sekolah."

Trisha bergumam tidak jelas lalu bangkit dan pergi ke kamar mandi meninggalkan Lana yang melongo karena sapaan paginya tidak dibalas sama sekali.

"Ih. Nyebelin banget, sih!" Lana melempar satu boneka kecil yang ada di sebelahnya ke arah pintu kamar mandi yang sudah tertutup.

Sambil menunggu Trisha, Lana bergerak merapihkan kamar. Mulai dari kasur, meja belajar, sofa. Entah apa yang dilakukan anak ini semalam, kamar ini berantakan sekali. Buku-buku, stick PlayStation, gitar, sampah makanan ringan dan minuman kaleng, semua berserakan.

Trisha keluar dari kamar mandi dengan seragam yang masih acak-acakan. Tanpa diminta Lana menuntun Trisha duduk di meja rias dan menyisir rambut anak itu, memakaikan sedikit bedak dan parfum.

"Berdiri."

Trisha menurut. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Lana dengan telaten memasukkan seragam Trisha kedalam rok birunya, mengancingkan baju dan memakaikan dasi. Tak lupa memakaikan ikat pinggang. Dari jarak sedekat ini Trisha akui Lana tidak sejelek itu, tapi nasibnya tidak sama dengan parasnya. Kasihan.

Tinggi mereka tidak jauh berbeda, sedikit melukai ego Trisha karena itu artinya dia masih pendek, karena Lana itu pendek. Dia harus lebih banyak minum susu sehabis ini dan tumbuh tinggi jauh di atas Lana.

"Udah beres. Ayo sarapan." Dengan satu usapan terakhir Lana menyingkirkan tangannya dari kerah baju Trisha. Menatap anak itu dari atas ke bawah, puas dengan kinerjanya.

"Makasih Lana." Ucap Trisha pelan lalu berlalu meninggalkan kamar.

Lana menaikkan alis, "Ternyata bisa bilang makasih juga dia." Si mahasiswi DKV terkikik geli sebelum berlari kecil menyusul anak asuhnya.

~o~

Keseharian dua insan hawa berubah sepenuhnya, kalau dipikir takdir memang terkadang lucu. Seumur hidup Lana tidak pernah mengurus adik, tapi sekarang tiba-tiba harus mengurus anak remaja 14 tahun.

Soft Boundaries [PENDING]Where stories live. Discover now