Mereka belum banyak bicara, bukan karena enggan, tapi karena terlalu banyak hal yang tak mereka mengerti.
Dazi masih sibuk menata kembali logikanya, berusaha menerima kenyataan bahwa ia telah berpindah dari dunia yang ia kenal... ke dunia ini. Dunia yang tak terasa nyata, tapi juga tak terasa seperti mimpi. Dunia yang membuat udara di dadanya berat, seolah-olah sedang memikul beban yang bukan miliknya.
Safira, di sisi lain, menatap pria asing itu dengan sesekali lirikan. Ada sesuatu pada Dazi yang membuatnya enggan menjauh, meski ia baru saja mengenalnya. Sebuah firasat, seperti helai kabut tipis yang membelai pikirannya-ia merasa pernah melihatnya. Atau mungkin... mengenalnya?
Namun, ia memilih diam. Sesuatu dalam dirinya menahan pertanyaan-pertanyaan itu keluar. Seperti suara samar yang berbisik: "Belum saatnya."
Tiba-tiba, suara ledakan pelan terdengar di kejauhan. Tanah sedikit bergetar, dan kawanan burung gelap beterbangan dari balik bukit.
Safira berhenti, matanya menyipit ke arah suara itu. "Itu dari arah timur," gumamnya.
Dazi menoleh, meski masih belum memahami arah di dunia ini. "Apa itu?"
"Biasanya... bentrokan." Safira mulai melangkah lebih cepat. "Kita harus memeriksanya. Dunia ini tak lagi sunyi seperti dulu."
Dazi terdiam sebentar, lalu mengikuti Safira yang mulai berlari kecil. Di tengah kebingungan dan keterasingan, satu-satunya yang bisa ia lakukan... adalah mempercayainya.
***
Mereka tiba di tepi hutan tandus, hanya untuk menemukan bekas pertempuran yang belum lama terjadi. Tanah hangus. Pohon-pohon terbelah. Asap tipis masih mengepul dari bebatuan yang retak. Dan di tengahnya... sekelompok makhluk berseragam hitam sedang memeriksa reruntuhan dengan mata tajam penuh kecurigaan.
Safira menahan napas. "Umbra Knight..." bisiknya. "Kita harus pergi."
Namun belum sempat mereka berbalik, salah satu dari para Umbra Knight itu menoleh, mata merahnya langsung menangkap keberadaan mereka di semak-semak.
"Lari!" seru Safira.
Dazi tak sempat bertanya apa pun. Safira menarik tangannya, dan mereka berlari menyusuri hutan tandus, diikuti teriakan kasar dan derap langkah musuh di belakang mereka.
"Siapa mereka!?" seru Dazi.
"Mereka bekerja untuk kegelapan. Kau tak mau bertanya lebih jauh saat mereka mengejarmu."
Dazi mengangguk. "Noted."
Saat mereka nyaris terdesak, Safira berhenti di depan celah batu besar dan menarik keluar pedangnya-panjang, ramping, dengan ukiran cahaya samar di sisi bilahnya. Dazi terpana sejenak-tidak hanya karena senjata itu, tapi karena sosok Safira berubah. Tatapannya tajam. Wajahnya serius. Tak ada lagi keraguan.
Satu Umbra Knight melompat dari balik pepohonan.
Dengan satu tebasan, Safira menahannya, lalu menangkis serangan berikutnya dengan kelincahan yang membuat Dazi sejenak lupa untuk bernapas. Tapi dua yang lain muncul. Ia tak akan bisa menahan semuanya untuk waktu yang lama.
Dazi mencengkeram batu besar di sampingnya, mencoba membantu, tapi tubuhnya justru seperti terbakar-perasaan aneh menjalar dari dalam dadanya, seperti arus panas yang tak terkendali. Sejenak, matanya berubah... hitam dengan semburat merah. Tapi sebelum itu meledak lebih jauh, Dazi jatuh terduduk. Nafasnya tercekat. Arus itu... hilang.
Safira menghabisi dua dari tiga musuh itu, lalu menarik Dazi yang masih setengah sadar ke dalam celah batu-sebuah gua sempit yang tersembunyi.
"Kau... hampir-"
"Aku tak tahu apa yang terjadi," ujar Dazi cepat, gemetar. "Ada sesuatu... menyala dalam diriku."
Safira terdiam.
Seketika, seperti lembaran usang terbuka dalam pikirannya, ia teringat akan legenda lama tentang entitas asing-"Orang yang datang dari langit, membawa kegelapan yang terikat di dalamnya."
Tapi ia menggeleng. Belum saatnya. Terlalu dini untuk menyimpulkan. Terlalu dini untuk takut... atau berharap.
"Beristirahatlah sebentar," ucapnya, lembut.
***
Saat malam tiba, mereka menyalakan api kecil di dalam gua. Dazi menatap nyala api, pikirannya berkecamuk.
"Apa semua ini nyata?" tanyanya akhirnya.
"Setiap luka yang kau rasakan nyata, kan?" Safira tersenyum tipis. "Itu cukup jadi bukti."
"Kalau begitu... aku ingin tahu kenapa aku di sini. Dan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini."
Safira terdiam lama sebelum menjawab. "Dunia ini dulu indah. Tapi sekarang ia dalam senyap panjang, seolah tercekik oleh sesuatu yang tak terlihat. Kami menyebutnya X-"
Ia terhenti. Entah kenapa, ia merasa lidahnya menolak menyebutkan nama itu.
"Sudahlah," lanjutnya. "Yang penting sekarang... kita harus bertahan. Dan mencari tempat yang aman. Jika benar firasatku... kau akan membawa perubahan. Tapi tak semua perubahan berarti kemenangan."
Dazi memandang api kecil yang berkedip pelan di antara mereka, matanya mengamati bayangan cahaya yang menari di wajah Safira. Ada yang ingin ia tanyakan, tapi urung. Bukan karena takut... tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa tenang meski tak memahami apa-apa.
Ia menarik napas dalam-dalam. Nafasnya masih bergetar.
Safira duduk beberapa jengkal darinya, membenahi ikat pinggang pedangnya yang koyak. Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Tapi ia ada di sana. Dan itu cukup.
Dazi menyandarkan punggung ke dinding batu, diam-diam memperhatikan cara gadis itu menjaga jarak, namun tak meninggalkannya. Di dunia yang tak ia kenal, kehadiran itu... terasa seperti satu-satunya hal yang nyata.
Ia menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak ia tiba, dadanya tidak terasa seberat tadi. Mungkin karena kelelahan. Atau mungkin... karena seseorang akhirnya berkata, "Beristirahatlah."
***
YOU ARE READING
Aether in Silence
FantasyLangit malam retak tanpa suara. Dunia berubah sejak saat itu. Dazi, seorang pemuda biasa dari kota kecil, terseret ke dalam dunia asing yang tak pernah ia kenal-tempat di mana cahaya dan bayangan saling memburu, dan setiap bisikan bisa membawa petak...
Prolog
Start from the beginning
