Harry berdiri, punggungnya membelakangi langit malam. Di rooftop itu, angin berhembus kencang, tapi dia tetap tenang. Noel masih duduk di pinggir beton, jari-jarinya menggenggam map yang tadi dikasih.
“Semuanya udah gue siapin,” suara Harry akhirnya memecah sunyi. “Mulai dari rute pelarian, kemungkinan backup pelaku, sampai pola komunikasi yang dia pake.”
Noel melipat map, menatap Harry lekat-lekat. “Lo pikir Stephie bisa sejahat itu?”
Harry mengangkat bahu. “Gue nggak punya alasan pribadi buat nuduh dia, El. Tapi semua bukti ngarah ke dia. Masalahnya bukan itu.”
“El?”
“Masalahnya... motifnya.” Harry menoleh, ekspresinya tegas. “Why would someone who barely knows Aqeela want her dead?”
Noel diam.
Harry lanjut, suaranya rendah tapi jelas. “Gue udah tracing nomor asing yang nyebar berita hoax soal Aqeela. Dan lo tau apa? IP-nya dari sekolah. Dari Tirta Persada. Dan lagi-lagi, device yang sama pernah connect ke jaringan internal waktu MOS. Waktu lo jadi panitia,”
Noel mengernyit. “Lo bilang... Stephie?”
“Bisa iya, bisa bukan. Tapi yang pasti, dia salah satu kunci.”
Harry ngeluarin flashdisk kecil dari kantong jaketnya dan ngasih ke Noel.
“Isinya apa?”
“Bukti. Dan backup kalau gue kenapa-kenapa.”
Noel diam sebentar sebelum akhirnya menyambut flashdisk itu.
Harry mendekat, suaranya nyaris bisikan, “Gue butuh lo bantu satu hal.”
“Apa?”
“Deketin Stephie. Cari tahu seberapa banyak yang dia tau. Tapi pelan-pelan. Jangan sampai dia curiga.”
Noel mengangkat alis. “Gue? Kenapa nggak lo aja?”
“Karena dia punya sejarah sama lo. Dia mungkin masih... tertarik. Dan itu satu-satunya celah yang bisa kita pakai.”
Noel geleng pelan, setengah nggak percaya. “Ini gila, Har.”
Harry menatapnya dalam. “Lo pikir gue seneng harus ngelakuin ini semua? Ini bukan soal gue, atau lo. Ini soal Aqeela. Dia bisa mati, Kalau kita salah langkah sedikit aja.”
Noel akhirnya mengangguk, meski berat. “Oke. Tapi kalo ini jebakan...”
Harry potong, “Gue yang tanggung. Seluruhnya.”
Mereka diam lagi. Tapi bukan karena ragu. Justru sebaliknya—ini adalah momen di mana dua sahabat memulai permainan yang lebih berbahaya dari sebelumnya.
“Let’s hunt a devil,” gumam Noel.
Harry senyum tipis. “We already found her. We just need to watch her burn.”
*****
Dua hari. Dua malam. Dan Aqeela masih belum bangun.
Suara mesin monitor detak jantung, bunyi infus yang menetes perlahan, dan sesekali langkah suster yang masuk- keluar ruangan jadi satu-satunya pengisi keheningan di kamar ICU itu. Aqeela terbaring lemah. Tubuhnya penuh perban. Ada gips di lengannya, goresan luka di pelipis, dan pipinya pucat banget. Terlalu pucat.
Firan duduk di kursi, kepala bersandar di paha mamanya yang sesekali usap rambutnya pelan. Tatapan Mama Aqeela kosong, wajahnya letih. Matanya sembab tapi udah kering dari kemarin. Air mata kayaknya udah habis, diganti kekhawatiran yang terus menggerogoti dari dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...