"Tarik pelatuknya, Haga. Gue mau mati sekarang."
~
Tak pernah Alena bayangkan, akhir hidupnya justru datang dari tangan kakaknya sendiri. Namun alih-alih mati, ia justru terbangun di dunia asing-terjebak dalam tubuh seorang figuran dari novel yang b...
Langit sore terbentang luas dengan semburat jingga keemasan yang menyapu ujung pepohonan. Udara sejuk mengalir lembut melalui jendela-jendela terbuka vila, membawa aroma rumput basah dan kayu yang menghangat di perapian. Di halaman belakang yang diterangi lampu gantung dan nyala api unggun kecil, mereka berkumpul—tanpa naskah, tanpa panggung, tanpa penonton. Hanya mereka, dan versi terbaik dari diri masing-masing.
“Gue gak nyangka kita bisa kumpul lagi, kayak gini,” ujar Velisya sambil meniup minuman panasnya. “Dan enggak ada yang saling lempar sindiran setiap lima menit.”
"Give it ten minutes,” gumam Raisha, menaikkan alis.
“Gue kasih lima,” timpal Aiden, santai. “Velisya udah keliatan gatel mau nyamber siapa aja yang nyebutin kata ‘healing’.”
“Gue cuma alergi sama kata yang dipakai buat nutupin denial,” balas Velisya cepat.
“Dan lo baru aja pake lima kata buat nutupin denial lo sendiri,” cibir Aiden sambil nyengir.
Tawa pecah ringan. Tidak berlebihan, tapi cukup hangat untuk menyingkirkan sisa-sisa dingin di hati mereka.
Haira duduk bersila di ujung selimut, memperhatikan semua dari balik mug cokelat hangatnya. “Anehnya... gue ngerasa kayak baru punya versi baru dari kita semua.”
“Kita bukan versi baru,” sahut Givana, menatap api unggun. “Kita cuma akhirnya berhenti pura-pura jadi versi yang disukai orang lain.”
Maven mengangkat alis, mengangguk pelan. “Kalimat lo makin hari makin kayak penutup novel.”
“Dan lo makin hari makin cocok jadi tukang komentar meta,” jawab Raisha. “Tinggal nunggu lo ngomong, ‘ini semua cuma fiksi.’”
“Yah, kalau fiksi bisa bikin kita duduk tanpa ngebentak, gue gak keberatan,” kata Aiden.
Aidan menguap pelan. “Lucu juga sih... kita semua pernah nyakitin atau disakitin satu sama lain, tapi tetep milih buat balik duduk bareng.”
“Karena pada akhirnya,” ujar Haira pelan, “yang tersisa cuma yang mau sama-sama belajar. Dan bertahan.”
Givana menatap satu per satu mereka yang duduk di sekelilingnya—orang-orang yang pernah jadi teka-teki, ancaman, bahkan luka. Tapi juga orang-orang yang, meskipun terseok, memilih untuk tidak menyerah. Tidak pada diri sendiri. Tidak pada hubungan yang mereka bangun ulang dari reruntuhan.
“Gue gak mau semuanya balik kayak dulu,” ucap Givana. “Tapi gue mau kita semua... tetap di sini. Dengan cara yang lebih jujur.”
“Gak usah balik ke dulu,” timpal Velisya sambil meregangkan punggung. “Gue bahkan gak inget versi kita yang dulu tuh kayak apa.”
“Bising,” jawab Raisha.
“Drama,” sambung Haira.
“Capek,” Aiden ikut menambahkan.
“Ya, tapi sekarang gak,” ucap Aidan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka mengangguk bersama—tanpa keraguan, tanpa defensif. Hanya kesepakatan sunyi bahwa hari-hari mendatang akan tetap rumit, tetap berubah... tapi tidak akan lagi dilalui sendirian.
Di atas langit yang mulai beranjak ke malam, bintang-bintang kecil muncul satu per satu. Dan di antara segala yang telah runtuh dan dibangun ulang, mereka menyadari satu hal:
Kebahagiaan tidak datang dari menyusun ulang cerita lama, melainkan dari keberanian menulis yang baru—bersama orang-orang yang memilih tinggal.
•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•
Cerita ini bukan tentang sempurna, tapi tentang bertahan. Dan kalau kamu sampai di sini, berarti kamu juga udah ikut bertahan bareng mereka.
Makasih banyak. Serius. Kalau ada salah-salah kata, aku minta maaf. Tapi satu hal yang pasti: aku nulis ini dengan sepenuh rasa.
We end here… until the story finds you once more.
_______ # Setuju gak kalau aku bikin kelanjutan cerita ini tapi versi gen mereka? ————