Ekstra part (2)

15.8K 727 6
                                        

Malam perlahan merangkak melewati batas waktu. Di antara bantal-bantal yang berserakan, gelas-gelas kopi yang hanya menyisakan endapan, serta mata-mata yang mulai berat karena kelelahan, percakapan mereka beralih dari hal-hal personal menuju topik yang lebih dalam—tentang mereka yang dahulu menjadi pusat luka.

“Ada yang udah tahu kabar terakhir soal Devina sama Alvaz?” tanya Maven, nadanya terdengar datar, namun sorot matanya menyiratkan ketajaman.

Raisha menyeruput minumannya sebelum menjawab, “Devina dikeluarin. Bukan cuma dari proyek sekolah, tapi juga dari semua asosiasi akademik yang dia ikutin. Beasiswanya dicabut. Terakhir sih katanya dia dibawa ke luar negeri... buat ‘rehabilitasi mental’. Tapi jujur aja, itu kayak alasan biar namanya ngilang dari skandal.”

“Dia bukannya beresin masalah, malah kabur dari tanggung jawab,” gumam Haira.

Aiden menimpali sambil menyandarkan tubuh, “Tapi tetep aja, hidup dalam pelarian itu udah termasuk hukuman. Dia gak bakal bisa balik lagi ke posisi dia dulu.”

“Alvaz juga gak jauh beda,” tambah Velisya. “Awalnya sih masih sok-sokan main di balik layar, tapi sekarang udah gak laku. Namanya dicoret dari semua jaringan—kampus ogah nerima dia, sponsor juga pada narik diri.”

Alan menggeleng pelan sambil mendengus. “Gue sempet lihat dia ngelamar jadi asisten editor freelance. Yang dulunya nentuin siapa yang dapet spotlight... sekarang malah disuruh ngedit catatan orang.”

“Pantes,” ujar Aiden, seolah membenarkan. “Tinggal satu lagi: Kavan.”

Suasana seketika diliputi keheningan. Ada jeda panjang, sebelum akhirnya Givana bersuara.

“Kavan diskors permanen dari dewan siswa regional. Reputasi keluarganya ikut goyah karena ketahuan dia manipulasi dokumen dan nutupin kasus bullying yang sebelumnya disimpan rapat. Jabatan dia di yayasan sekolah dicabut total.”

Raisha bersiul pelan. “Gila. Cepet juga kejatuhannya.”

“Bukan sekadar jatuh,” lanjut Givana, nadanya tenang namun tegas. “Dia juga dilaporin ke otoritas pendidikan. Sekarang dia wajib ikut program korektif, dan untuk dua tahun ke depan... dia gak bisa daftar kuliah formal.”

“Dan itu beneran gak bisa diselundupin dari belakang?” tanya Maven dengan nada skeptis.

“Udah diawasi langsung,” jawab Haira. “Sistemnya udah dibenahi. Jadi gak bisa lagi nyembunyiin nama belakang atau ngandelin jabatan keluarga.”

Dariel, yang sejak awal hanya mendengarkan, akhirnya bersandar dan menatap langit-langit. “Akhirnya... sistemnya belajar juga, ya.”

“Ya,” ujar Givana lirih. “Sama kayak kita.”

Malam itu terasa seperti sebuah kesimpulan yang selama ini tak diucapkan. Bukan karena seluruh luka telah pulih, atau setiap kesalahan telah dibayar lunas, melainkan karena mereka akhirnya mengerti: keadilan mungkin datang terlambat, tapi ia tetap akan datang.

Dan yang lebih penting dari itu, malam itu mengajarkan mereka siapa saja yang masih layak berdiri berdampingan—dan siapa yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Langit sudah menjelang subuh saat Givana keluar ke balkon belakang. Udara masih dingin, tapi hujan telah benar-benar reda. Sisa embun menggantung di pinggiran pot tanaman, dan suara malam sudah berubah jadi bisikan pagi.

Dariel sedang duduk di kursi kayu, sendirian, mengenakan jaket yang belum sepenuhnya kering. Tangannya memainkan korek api kecil—menyalakan, mematikan, lalu mengulang lagi. Ia tidak menoleh saat Givana datang, tapi berhenti memainkan korek begitu suara langkah terdengar.

“Gak tidur?” tanya Givana, suaranya pelan.

“Harusnya gue yang nanya itu,” jawab Dariel.

Givana duduk di kursi seberang. Mereka diam beberapa saat. Tidak aneh. Tidak canggung. Hanya... diam yang nyaman.

“Gue nungguin momen ini, lo tahu gak?” kata Givana akhirnya. “Buat bisa duduk bareng lo dan gak ngerasa kayak nyimpen bom waktu di dada.”

Dariel menatapnya. “Dan sekarang udah gak kayak gitu?”

“Masih,” jawabnya, jujur. “Tapi... lebih kayak, gue udah tahu bomnya ada, dan gue gak takut lagi.”

Dariel tertawa pelan, nyaris tanpa suara. “Dulu lo takut sama gue?”

“Dulu gue takut kehilangan versi lo yang gue percaya,” ucap Givana, menatap lurus. “Sekarang gue tahu, versi itu... gak pernah sepenuhnya hilang. Cuma... tersembunyi di balik semua luka.”

Dariel mengangguk pelan. “Gue juga banyak pura-pura, Van.”

“Kayak apa?”

“Kayak bilang gue baik-baik aja. Kayak keliatan kuat. Kayak... lo bukan alasan utama gue pengin balik hidup.”

Givana tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Dariel lebih lama.

“Kalo lo balik buat gue,” katanya akhirnya, “Gue harap lo juga balik buat diri lo sendiri.”

Dariel tersenyum. “Gue masih belajar, sih. Tapi setidaknya sekarang gue tahu, siapa yang mau gue temuin duluan tiap kali bangun pagi.”

“Cringe,” Givana mendesis sambil nyengir, “Tapi lumayan manis.”

“Lo juga belum tidur, tapi masih sempet nge-roast orang,” Dariel tertawa kecil.

Givana berdiri, menggulung lengan sweaternya.

“Gue gak janji semuanya akan lancar, Dariel,” katanya. “Gue masih takut, kadang marah, kadang ragu.”

“Gue juga,” sahut Dariel, ikut berdiri. “Tapi kalau kita mulai lagi, kita mulai... tanpa pura-pura.”

Mata mereka saling mengunci. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya dua orang yang akhirnya bertemu sebagai dua versi terbaik dari diri mereka sendiri.

Langit mulai terang di ufuk timur. Hari baru.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama... mereka siap menjalani hidup, bukan sebagai karakter dari masa lalu, tapi sebagai versi utuh dari diri mereka hari ini.

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang