Ekstra part : Yang Tersisa Setelah Petir Reda.

15.1K 761 8
                                        

EKSTRA PART (1)

Hujan belum berhenti sejak siang. Petir sudah tidak lagi menggelegar, tapi bekas-bekasnya masih menggantung di udara—bau tanah basah, gemetar kecil di kaca jendela, dan keheningan ganjil yang datang setelah badai.

Mereka semua duduk melingkar di dalam ruang tamu rumah Velisya—tempat yang entah bagaimana selalu jadi tempat pelarian setiap kali dunia mulai terasa terlalu penuh.

Tak ada musik. Tak ada tawa keras. Hanya bunyi hujan dan detak jam dinding.

“Gue kadang mikir ya,” Velisya nyeletuk tiba-tiba, memecah diam yang sudah terlalu panjang. “Kalau kita semua cuma tokoh di cerita... siapa yang paling duluan pura-pura?”

“Lo,” jawab Raisha tanpa ragu, cepat banget.

“Wah, gak dikasih jeda napas,” Aiden ketawa kecil, nyender makin dalam ke bantal. "Respect."

Velisya mendengus. “Gue sih gak heran. Dari dulu emang lo yang paling doyan nyari panggung.”

Raisha nyengir, tapi matanya dingin. “Lebih baik nyari panggung daripada nyuri spotlight orang lain.”

Gibran menggeleng pelan. “Mulai deh. Tiap kali ngumpul pasti gini.”

“Karena kita gak pernah beresin yang lama,” Haira buka suara. Suaranya tenang, tapi tegas. “Semuanya cuma ditumpuk terus. Kayak... nunggu meledak.”

“Ya udah, sekalian aja meledak sekarang,” ucap Aidan, nada datarnya agak gak biasa. “Toh kita udah pada tau... enggak ada yang sepenuhnya jujur di ruangan ini.”

Givana menatap Aidan. Lama.

“Termasuk lo?” tanyanya pelan.

Aidan mengangguk, napasnya berat. “Termasuk gue.”

“Wih, pencitraan,” gumam Maven dari pojok ruangan. “Biasanya lo paling males ngaku-ngaku.”

“Biasanya gue paling males peduli,” sahut Aidan, masih tenang. “Tapi sekarang, beda.”

“Kenapa beda?” tanya Haira. Nadanya datar, tapi matanya tajam.

Aidan sempat diam, lalu melirik Givana sekilas. “Karena ada yang udah berubah. Atau... balik ke versi dia yang lama.”

Givana menarik napas. “Gue gak balik ke versi mana pun. Gue cuma mulai sadar... siapa yang harus gue jaga, dan siapa yang gak layak disimpen di cerita ini.”

Ucapan itu seperti cambuk.

Raisha tepuk tangan pelan. “Wah, kalimat tokoh utama banget. Udah kayak babak terakhir novel.”

“Yah, semoga bukan ending tragedi,” Aiden angkat cangkir kopi, setengah bercanda.

Gibran akhirnya berdiri. “Gue keluar dulu. Perlu udara.”

“Udara apa? Hujan-hujan gini?” tanya Haira.

“Justru itu.” Gibran membuka pintu geser, dan udara dingin langsung masuk. Hujan masih turun deras, tapi ia tetap melangkah keluar.

Semua ikut diam sebentar. Dingin. Lembap. Dan entah kenapa, terasa seperti ada yang retak satu.

“Dia baik-baik aja?” tanya Velisya lirih.

“Enggak tahu,” jawab Givana, suara rendah. “Gue juga lagi nyari tahu... siapa aja yang bener-bener ‘baik-baik aja’ di antara kita.”

---

Beberapa menit kemudian, suara langkah terdengar dari dapur. Pelan, hati-hati.

Givana berdiri duluan.

Seseorang muncul dari balik dinding—berjaket hitam basah, rambut sedikit menempel di dahi karena air, mata tajam yang tetap tak bisa dilupakan.

Mereka semua langsung membeku.

Velisya berdiri setengah. “Lo...”

“Kalau ini halu, tolong jangan bangunin gue,” bisik Maven, pelan.

Dariel menatap satu-satu. Lalu berhenti di Givana.

“Gue gak tahu ini ide bagus atau enggak, dateng tiba-tiba kayak gini,” katanya. Suaranya serak, tapi nyata.

Givana tak menjawab. Tak bergerak.

Gibran muncul dari luar, basah kuyup, dan berhenti di ambang pintu. Matanya lebar. “Lo beneran... hidup?”

Dariel tersenyum kecil. “Kelihatannya sih iya.”

“Dariel,” suara Haira pelan. Bukan pertanyaan, bukan sapaan. Lebih seperti... pengakuan bahwa mereka semua salah mendefinisikan akhir.

“Gue hidup,” ucapnya lagi, lebih mantap. “Dan kalau boleh, gue pengin ngulang dari awal.”

Tak ada yang tahu harus menjawab apa.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, ruang tamu itu terasa penuh.

Bukan penuh oleh kebisingan, atau drama, atau luka yang belum selesai.

Tapi penuh oleh satu hal yang hampir dilupakan oleh mereka semua:
kemungkinan.

Kemungkinan bahwa tidak semua akhir harus menyakitkan.

Kemungkinan bahwa beberapa orang, meskipun hilang, masih bisa kembali—dengan versi mereka yang lebih jujur.

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang