Epilog /⁠/

15K 893 13
                                        

Sudah lewat satu tahun sejak hari itu.

Langit masih bisa biru, meski tak lagi secerah dulu. Daun-daun masih bisa gugur di taman belakang sekolah, tempat yang dulu sering ia hindari karena terlalu penuh kenangan. Sekarang, justru tempat itu yang sering ia datangi diam-diam, seolah menunggu sesuatu-atau seseorang.

Givana belajar menerima kehilangan. Atau, lebih tepatnya, belajar hidup dengan ruang kosong yang ditinggalkan seseorang tanpa sempat benar-benar pamit.

Dariel Asgara telah pergi. Dunia telah bergerak. Dan meski luka itu belum benar-benar sembuh, ia mulai memahami: beberapa orang memang tidak ditakdirkan untuk tinggal lama-tapi bukan berarti mereka benar-benar menghilang.

Sore itu, ia datang ke rumah kaca. Bangunan kecil yang dikelilingi tanaman merambat itu masih berdiri seperti biasa, hanya lebih sepi. Udara di dalamnya masih lembap, masih beraroma dedaunan dan tanah yang dikenang. Tangannya menyusuri meja kayu lapuk di sudut ruangan, tempat di mana dulu ia dan Dariel pernah bertengkar... dan juga diam bersama, tanpa kata.

Namun hari itu ada yang berbeda.

Ada secangkir kopi di atas meja.

Masih hangat.

Dan selembar kertas kecil terselip di bawah cangkir itu. Tulisannya bukan tulisan asing-ia hafal betul cara huruf-huruf itu ditarik, cara tinta seolah menekan keras di setiap titik akhir kalimat.

> "Maaf gue pergi waktu itu. Tapi kayaknya lo belum selesai, dan... gue juga belum."

Jantungnya berhenti sejenak. Matanya menelusuri sudut ruangan dengan cepat. Tidak ada siapa pun. Hanya sunyi. Hanya gemetar yang merayap dari ujung jari ke dasar dada.

Ia melangkah keluar rumah kaca, napasnya belum stabil.

Dan di ujung jalan setapak berbatu, seseorang berdiri membelakanginya. Jaket hitam familiar, rambut acak tak terurus, tubuh jangkung yang bahkan dari kejauhan pun sulit disangkal keberadaannya.

"Dariel?" suaranya pecah, lebih seperti napas yang tersangkut di tenggorokan daripada panggilan.

Orang itu menoleh pelan.

Bibirnya menekuk sedikit. "Lama ya?"

Tangis Givana pecah bahkan sebelum ia sadar ia menangis. Dunia tiba-tiba berisik, jantungnya berdebar kacau, dan semua kata-kata yang ingin ia katakan... buyar.

Tapi pria itu-yang seharusnya sudah tiada-masih berdiri di sana. Nyata. Bernapas. Tersenyum.

"Ada alasan kenapa gue balik," ucapnya pelan, suaranya serak.

Givana menggeleng, mendekat dengan langkah ragu, takut ini hanya ilusi yang akan menguap begitu disentuh.

"Gue hidup, Van." Suara itu semakin dekat. "Gue hidup. Gue selamat. Lama... tapi gue balik karena cuma satu hal."

Ia menatap mata Givana. Dalam, hangat, penuh luka yang belum pulih, tapi tidak lagi hancur.

"Karena cerita lo belum selesai. Dan cerita gue... selalu ada lo di dalamnya."

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang