48 - The End.

18.8K 1.1K 184
                                        

Haii... Maaf lama. Aku sedikit sibuk di rl.

~ Selamat membaca ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~ Selamat membaca ~

Langkah itu terdengar lagi.

Pelan, namun pasti. Sepatu kulit yang menghantam lantai beton menciptakan gema yang mengiris telinga. Givana yang duduk menyandar di sudut ruangan langsung menegang. Matanya melebar, napasnya tertahan seperti tertusuk duri.

“Udah bangun?” suara itu tenang—tenang seperti angin dingin yang membawa kabar kematian.

Itu suara kakak tirinya—Alvaz.

Givana tak menjawab. Ia hanya menarik lututnya lebih dekat ke dada, memeluknya erat-erat, mencoba melindungi diri yang sudah tak mampu dibela. Tubuhnya mulai berguncang pelan. Bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang meledak dari dalam.

Kepalanya dipenuhi gambar-gambar yang tak ia undang: teriakan masa kecil, pintu yang dibanting, suara gelas pecah, tangisan ibunya, dan pandangan dingin satu anak laki-laki yang berdiri di tangga, menatapnya seperti makhluk asing.

Semua luka lama itu kembali terbuka.

“Givana?” suara itu mendekat.

Ia mulai bergumam, “Jangan sentuh gue… jangan… jangan sentuh gue…”

Alvaz terdiam sejenak, mungkin tak menyangka reaksi seperti itu.

Tapi Givana sudah tak sadar sepenuhnya. Kepalanya tertunduk, tubuhnya terus bergoyang pelan ke depan dan belakang, berusaha membungkam suara dalam pikirannya. Bibirnya bergetar, air mata mengalir tanpa suara. Trauma itu bukan luka baru—hanya luka lama yang akhirnya bangkit.


Ruangan itu terasa dingin. Bukan karena suhu, tapi karena tekanan yang menggantung di antara mereka. Di atas meja, peta bangunan terbentang. Garis-garis merah melingkari titik kamera, sudut buta, dan rute keluar.

Dariel berdiri di tengah. Matanya tidak berkedip menatap denah. “Pas gue masuk, kasih gue waktu empat puluh detik buat deketin Givana. Udah itu itu, lampu harus padam.”

Aiden, duduk di samping laptop dengan kabel-kabel berserakan, mengangguk pelan. “Empat puluh detik dari detik lo buka pintu belakang. Gue matikan sistem utama. Semua jadi gelap. Tapi cuma tiga menit sebelum genset nyala. Gak lebih.”

“Dan peluru?” tanya Dariel tanpa menoleh.

Aidan, yang berdiri bersandar di dekat pintu dengan senapan semi-otomatis di tangan, menjawab datar. “Gue ambil posisi dari jendela sisi barat. Begitu lampu mati, hitungan ketiga, gue tembak pistol di tangan Alvaz. Bukan untuk bunuh dia. Cuma buat bikin semua orang panik... dan lo punya celah.”

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang