Suasana lorong rumah sakit masih sunyi saat Harry melangkah keluar dari ruang ICU. Pandangannya kosong, tapi rahangnya mengeras. Setiap detik yang dia habiskan di sisi Aqeela seakan hanya membuat amarahnya mendidih. Bukan karena Aqeela—tapi karena kenyataan bahwa seseorang dengan sengaja ingin menghancurkannya.
Dia menatap sejenak ke ruang ICU dari balik kaca. Tubuh Aqeela masih terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang melekat di sana. Napasnya tersendat, seolah-olah tubuh itu sedang berjuang untuk bertahan di antara hidup dan mati.
Harry menghela napas panjang. “Maaf, Qel,” bisiknya pelan. “Aku janji… ini terakhir kali kamu terluka kayak gini.”
Langkahnya cepat dan mantap menuju parkiran. Dia tidak pulang ke rumah, tapi menuju ke apartemennya sendiri—tempat di mana dia bisa bekerja tanpa gangguan. Bukan tidur yang dia butuhkan, bukan istirahat. Yang dia butuhkan sekarang adalah kebenaran.
Begitu sampai, dia langsung menghidupkan laptopnya—sebuah custom build yang dia rakit sendiri, kuat, cepat, dan penuh dengan sistem keamanan dan penetration tools hasil buatannya sendiri. Monitor menyala, dan dalam hitungan detik, dia sudah masuk ke sistem backdoor miliknya yang terhubung dengan server CCTV kota.
Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard.
“Jalanan sekitar area tempat Aqeela ditabrak,” gumamnya, sambil membuka peta digital yang terintegrasi dengan data lalu lintas real-time. Dia menarik waktu mundur ke satu jam sebelum kejadian. Kamera dari berbagai sudut langsung terbuka.
Gambar demi gambar bergerak cepat di layar. Ia menandai kendaraan mencurigakan—mobil hitam dengan plat nomor samar yang melintas di jalur yang sama dengan Aqeela. “Zoom in,” katanya pada dirinya sendiri, dan dia menjalankan skrip otomatis untuk menstabilkan dan memperjelas frame video.
Plat nomor terlihat: B 1X0 5TH.
Harry mengerutkan dahi. “No registered ID. Plat palsu.”Dia langsung menghubungkan sistemnya dengan database Samsat—melalui jalur belakang. Dengan brute-force injection, dia berhasil membuka jalur masuk. Dia salin nomor plat itu dan memaksa pencarian ke server untuk mencari kendaraan dengan karakteristik serupa.
Satu hasil muncul: Mobil Mazda CX-5 hitam, pemilik: tidak terdaftar. Didaftarkan dengan data palsu.
Harry mendecak pelan. “Pintar juga… tapi masih kurang pintar.”
Dia lanjut melacak rute mobil itu. CCTV dari lampu merah ke lampu merah, dari tikungan ke tikungan, satu per satu dia susuri. Dengan skrip facial recognition sederhana, dia menstabilkan kaca depan mobil. Beberapa detik… dan akhirnya, wajah pengemudi terlihat samar. Cewek. Rambut panjang. Wajahnya nyaris tak kelihatan karena kaca film gelap, tapi dari sudut samping… Harry bisa mengenali sedikit siluetnya.
Dia masih belum yakin. Masih kabur. Tapi satu hal pasti, ini bukan kecelakaan. Mobil itu sempat melambat, menyamping, lalu secara sengaja mendorong Aqeela ke jalur tabrak. Dan setelah itu? Mobil itu mundur dan menghantam Aqeela sekali lagi.
“Ini bukan lagi soal benci,” gumam Harry. “Ini pembunuhan.”
Harry mencetak frame demi frame, dan mulai menjalankan pencocokan silang dengan database wajah yang lebih luas—menggunakan seluruh akses yang ia punya. Sekolah, kampus, data perpustakaan, sosial media, rekaman event sekolah, bahkan software pengenal wajah berbasis AI yang dia ciptakan sendiri untuk proyek freelance-nya dulu.
Di layar, muncul deretan hasil. Dan pada salah satunya, wajah cewek dengan siluet dan struktur tulang wajah yang sangat mirip muncul.
Harry mengerutkan alis. “Lo?!”

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...