"Eh, Den Raka, tumben mampir ke sekolah malam-malam begini. Ada perlu apa?" sapa Pak Tarjo, satpam senior SMA Arunika Cahaya yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun.
Raka baru saja memarkir motor Yamaha R6 hitam miliknya. Ia menoleh dan tersenyum ramah pada pria paruh baya yang sudah dikenalnya sejak masih kelas sepuluh.
"Pak Tarjo mau nutup gerbang, ya?"
"Iya, Den. Soalnya besok sekolah dipakai buat kegiatan camping, jadi saya ditugasin Pak Harsa buat ngecek seluruh area," jelas Pak Tarjo sambil mengarahkan senter ke lantai atas gedung kelas 12, memastikan semuanya dalam keadaan aman.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, baru saja masuk waktu Isya. Suasana sekolah begitu lengang, hanya ditemani keheningan dan bayang-bayang gedung tua yang sedang beristirahat dari hiruk pikuk para siswa menjelang pergantian semester.
"Pak Husen nggak ikut jagain, Pak?" tanya Raka sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.
"Enggak, saya cuma disuruh keliling sebentar. Lagian, kalau kelamaan di sini... serem juga," balas Pak Tarjo sambil bergidik.
Raka tertawa kecil. "Gara-gara kasus siswa yang bunuh diri itu, ya?"
Pak Tarjo menghela napas panjang. "Iya, Den. Yang itu... katanya sih bunuh diri karena dipaksa belajar terus sama ayahnya. Tapi gosip yang beredar, dia juga sering dibully. Saya udah sering negur anak-anak bandel, tapi ya gitu... kekuatan uang dan jabatan bikin semua mulut tertutup."
Nada suara Pak Tarjo pahit. Ia nyaris kehilangan pekerjaannya hanya karena mencoba bersuara. Di SMA Arunika Cahaya, keadilan sering kali tak lebih dari ilusi—tertabrak kasta dan pengaruh keluarga siswa.
Raka menepuk pelan bahu pria itu. Ia tahu, Pak Tarjo lebih mirip CCTV berjalan. Bisa melihat banyak hal, tapi tak punya kuasa untuk berbicara.
"Ngomong-ngomong, Den Arsa gimana kabarnya? Saya dengar dari Pak Bayu, luka-lukanya cukup parah?"
Raka mengangguk pelan. "Lumayan parah sih, Pak. Aneh juga, sebagian besar luka ada di punggung. Padahal kalau kecelakaan kena pecahan kaca, harusnya bagian depan yang kena. Tapi ya... sekarang sudah mulai membaik. Katanya besok udah boleh pulang."
"Alhamdulillah... syukur deh. Saya sempet kaget denger kabarnya, apalagi kejadiannya di Hutan Rimba Senja. Tempat itu udah makan banyak korban entah ke mana perginya," gumam Pak Tarjo sambil mengelus dada.
Ia mengikuti langkah Raka menyusuri lorong. Suasana sekolah makin terasa mencekam.
"Arcapura ini dikenal karena hutan-hutannya dan SMA Arunika Cahaya. Tapi sayangnya, juga terkenal karena kisah-kisah mistisnya," lanjutnya.
Raka tersenyum miring. "Jangan terlalu percaya yang kayak gitu, Pak. Paling juga cuma akal-akalan orang yang cari sensasi."
Pak Tarjo menyipitkan mata, memperingatkan, "Eh, hati-hati kalau ngomong. Lusa kemarin aja Pak Husen sempat denger suara orang lagi beresin barang dari kelas 12 IPA 2. Pas dicek, ruangannya masih berantakan... tapi ada satu meja yang bersih banget. Rapi, wangi, nggak ada debu sama sekali."
Raka mengernyit. "Meja siapa, Pak?"
Pak Tarjo termenung sejenak, lalu menyebut dengan suara pelan, "Yooo... cah ayu Lyora."
Raka spontan menoleh cepat, alisnya naik, napasnya tertahan sejenak. "Lyora?" ulangnya.
Matanya membulat, sorotnya menyiratkan campuran heran dan tidak percaya. "Tapi... bukannya—"
Raka menggantungkan ucapannya, bibirnya mengatup, seolah menyadari bahwa kalimat berikutnya terlalu sulit untuk diucapkan.
Pak Tarjo mengangguk pelan, wajahnya serius. "Iya, Den. Nggak tahu kenapa, tapi tiap kali ke kelas itu... cuma meja dia yang bersih. Wangi pula. Padahal nggak ada yang masuk."

KAMU SEDANG MEMBACA
That Naughty Monster is My Boyfriend
Fanfiction"Tubuhmu sempurna... padat, berisi, ramping, dan begitu menggoda. Bahkan aromamu membuatku ketagihan. Aku ingin menikmati setiap inci darimu, sayang." _________ Shadowbrook Camp - nama yang sudah dikenal luas. Destinasi favorit bagi para siswa yang...