58. HARQEEL

2.2K 104 6
                                        

Suara langkah tergesa-gesa mengisi lorong rumah sakit. Lampu putih yang menyilaukan membuat segala sesuatu terasa dingin dan tidak nyata. Di sebuah ruangan ICU yang steril, alat-alat medis berdengung, monitor berdetak dengan angka-angka yang tak pernah berhenti, menandakan denyut jantung dan napas Aqeela.

Harry duduk di pojok ruang tunggu, wajahnya remuk redam. Mata bengkak dan hidung merah, bukti betapa dia menangis tanpa henti. Tangannya menggenggam erat jaket Aqeela, seolah itu satu-satunya yang bisa memberinya kekuatan.

Keluarga dan teman-teman mulai berdatangan. Mama Mayang, dengan wajah pucat namun berusaha kuat, segera duduk di samping Harry. Papa Michael yang biasanya tegas terlihat rapuh, sesekali mengusap wajahnya. Firan, adik Aqeela yang masih kecil, berdiri di belakang kursi sambil memeluk diri sendiri, matanya berkaca-kaca. Flavio, sahabat lama Aqeela, berdiri tak jauh dari pintu, mencoba menahan rasa panik. Noel dan Jolina datang terakhir, raut wajah mereka campur aduk antara khawatir dan tak percaya.

*****

Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang menunggu gadis kecil itu sadar tengah kalang kabut dan khawatir, saling menyalahkan diri sendiri atas kelalaian.

Seorang dokter wanita berjas putih, dengan suara tenang namun tegas, menghampiri mereka. "Saya Dokter Rahayu, yang menangani pasien Aqeela. Kami sudah melakukan tindakan cepat sejak ia dibawa masuk ke sini."

Dia menatap satu per satu dengan penuh empati. "Kondisinya sangat kritis. Setelah kecelakaan itu, kami melakukan CT Scan untuk memastikan tidak ada perdarahan di otak dan kerusakan organ dalam."

Dokter melanjutkan, "Aqeela mengalami beberapa cedera serius. Tulang panggulnya retak, tulang rusuk ada yang patah, dan ada trauma pada paru-paru yang menyebabkan kesulitan bernapas. Selain itu, ada luka terbuka di kepala yang memerlukan jahitan dan pemantauan ketat untuk mencegah infeksi."

"Operasi berlangsung selama delapan jam," lanjut Dokter Rahayu, suaranya lembut tapi jelas. "Kami berhasil menstabilkan beberapa tulang yang patah dan membersihkan luka. Namun, dia masih dalam kondisi koma dan harus terus dipantau intensif di ICU."

Mama Mayang terduduk, tangan gemetar, bibirnya bergetar tak mampu berkata-kata. Papa Michael memegang bahunya, berusaha memberikan kekuatan walau hatinya juga terluka.

Harry, yang sejak tadi mendengarkan, tak kuasa menahan air matanya lagi. Ia menunduk, suara terisak pelan, "Aku... aku bawa dia secepat mungkin. Aku nggak mau kehilangan dia."

Firan mendekat, menatap kakaknya di balik pintu kaca ruang ICU, matanya penuh haru. "Kakak... tolong kuat ya."

Flavio menggenggam tangan Noel, mencoba menenangkan. "Kita harus yakin Aqeela bisa melalui ini."

Noel, dengan wajah serius, menatap monitor di ruang ICU. Dia masih tak percaya bahwa gadis yang selama ini dia lindungi bisa mengalami hal seperti ini. Jolina di sampingnya mengusap punggungnya pelan, memberi dukungan tanpa kata.

Dokter Rahayu melanjutkan, "Kami akan terus melakukan pemantauan ketat. Setiap perubahan sekecil apa pun akan kami informasikan segera."

"Apakah dia akan sadar?" tanya Mama Mayang dengan suara bergetar.

"Sulit untuk memprediksi saat ini. Tapi kami akan melakukan yang terbaik. Harapan selalu ada, selama dia berjuang," jawab dokter.

Waktu berlalu dengan lambat. Di luar ruang ICU, suasana hening penuh doa dan harapan. Setiap detik terasa seperti ujian berat bagi mereka semua.

Harry masih menggenggam jaket Aqeela, berbisik lirih, "Tolong bangun, Qel. Aku butuh kamu."

Mama Mayang menunduk, matanya basah. "Aku akan jadi ibu yang lebih baik, aku janji..."

Papa Michael memegang tangan istrinya, "Kita harus kuat demi Aqeela dan Firan."

Firan, kecil namun penuh tekad, mengangguk pelan.

Di balik pintu kaca, tubuh Aqeela terbaring tak bergerak. Alat-alat medis terus berdetak, menjaga nyawanya tetap ada.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang