57. HARQEEL

2.3K 98 4
                                        


Stephie duduk bersila di atas ranjang, lampu kamar dibiarkan remang. Senyumnya belum pudar sejak tadi. Matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan berita lokal:

“Remaja Perempuan Dilarikan ke Rumah Sakit Setelah Ditabrak Mobil Misterius di Tengah Keramaian.”

Komentar netizen mengalir deras. Beberapa simpati, banyak yang menyalahkan pengemudi, tapi tak satu pun tahu kebenaran yang sesungguhnya.

"Anonim itu... indah banget ya," gumamnya, memainkan rambut dengan ujung jari. “Gue bisa jadi siapa aja, bisa ngelakuin apa aja, dan mereka? Mereka cuma bisa nebak-nebak.”

Tangannya membuka galeri. Ia menyimpan hasil jepretan layar dari berita itu—wajah Aqeela yang pingsan di jalan, darah di pelipis, kaki yang tertekuk aneh.

"Gue pengen cetak ini," ujarnya setengah berbisik. "Pajang di kamar. Sebagai pengingat... siapa yang menang."

**

Ingatan masa lalu datang lagi. Ia masih bisa melihat jelas potongan memori waktu itu—SD yang cerah, suara tawa anak-anak, dan Aqeela kecil yang selalu jadi pusat perhatian. Cantik. Ceria. Anak emas semua guru.

Sementara dia?

Stephie kecil berdiri di sudut, ditemani kotak bekal yang selalu dingin. Ibunya terlalu sibuk bertahan hidup. Papanya? Sudah pergi entah ke mana—mencintai anak orang lain.

"Kenapa lo yang punya semuanya, padahal lo cuma anak dari perempuan baru?" desis Stephie, mata membara. “Mayang ngerebut papa gue. Terus lo... lo ngerebut semuanya yang harusnya punya gue.”

Dan saat Aqeela tumbuh, tetap bersinar, tetap dipuji, tetap dikelilingi orang baik—Stephie hanya semakin yakin: dunia terlalu baik pada orang yang salah.

Ia ingin dunia tahu betapa rapuhnya Aqeela. Betapa cewek itu bukan sekuat yang mereka pikirkan. Dan kini, saat tubuh Aqeela terbaring di rumah sakit, mungkin dioperasi, mungkin cacat... Stephie tahu: dia berhasil meruntuhkan menara itu.

Tapi belum selesai.

Belum cukup.

“Next step... Noel.” Matanya tajam, menyeringai. “Kalau dia mulai curiga, gue harus ubah strategi.”

Karena itu semua memang soal Noel juga.

Noel adalah simbol dari semua yang Stephie nggak pernah bisa punya. Sosok cowok yang baik, hangat, perhatian, dan... selalu punya insting untuk melindungi orang yang tepat. Dan sayangnya—yang dia lindungi selalu Aqeela.

Stephie mengingat malam itu—malam saat mobilnya meluncur, menunggu Aqeela keluar dari keramaian. Ia sudah memantau dari jauh. Skenarionya sudah disusun.

Timing-nya sempurna.
Kecelakaan itu terjadi di depan mata Harry, bukan Noel. Itu penting.

"Karena kalau Noel yang lihat, dia pasti bakal bisa nebak sesuatu. Dia terlalu peka kalau soal Aqeela."

Jadi, Stephie sabar. Dia pastikan tempat kejadian aman, kamera lalu lintas bisa di-hack—dan dia nggak akan pernah ketahuan.

Dia bahkan sudah siap alibi. Siap senyum manis, siap pura-pura kaget kalau suatu hari mereka bahas kejadian itu di sekolah.

Dia akan duduk di antara teman-teman, pasang muka prihatin, lalu bilang,
“Kasihan banget ya Aqeela...”
Padahal di balik wajah simpati itu, dia akan tertawa dalam hati.

Di sisi lain kamarnya, Stephie punya papan yang penuh catatan. Nama, koneksi, rencana. Mirip detektif, tapi isinya bukan nyari pelaku—tapi nyusun luka. Ada banyak nama di situ, tapi hanya satu yang dilingkari dengan spidol merah besar:
AQEELA.

Satu nama, satu obsesi, satu poros kehancuran.

Dan sekarang, Stephie merasa seperti dewi. Dia bisa bikin orang menderita, tanpa harus disentuh balik. Dia bisa ngontrol cerita hidup orang, tanpa orang itu sadar mereka cuma karakter di novel sakit buatan dia.

Satu langkah lagi, pikirnya.
Satu langkah untuk menghapus Aqeela sepenuhnya dari hidup Noel.
Dari dunia yang selama ini terlalu mencintai gadis itu.

"Dan kalau lo pikir gue bakal berhenti sampe sini... lo salah besar, Qel."

**

Stephie menatap pantulan dirinya sekali lagi.

Wajah yang sempurna, tanpa jejak luka masa lalu.
Tapi di balik kulit mulus itu...
ada luka lama yang sudah tumbuh jadi pisau.

Pisau yang kini... sudah ia tancapkan.

Dan darahnya?

Sedang mengalir.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang