brakk
Suara pintu garasi ditutup pelan. Tak ada yang menyambut, dan memang tak perlu. Tempat ini bukan rumah—hanya markas kecil untuk menyusun dendam yang ditabung bertahun-tahun.
Gadis itu berjalan pelan ke cermin. Matanya memandangi bayangan dirinya sendiri. Tidak ada darah. Tidak ada bekas. Hanya senyuman yang perlahan tumbuh di sudut bibir.
"Akhirnya," bisiknya lirih. "Lo nggak akan bisa berdiri dengan sempurna lagi, Aqeela."
Ia menghempaskan tubuh ke sofa usang yang sudah sering jadi saksi rencana gilanya. Dari balik rak kecil, ia mengambil satu kotak plastik transparan. Di dalamnya, tumpukan foto—Aqeela tertawa. Aqeela menang lomba. Aqeela di pelukan Michael. Aqeela dipeluk Noel. Semua wajah bahagia yang dari dulu membuat dadanya sesak.
"Cewek paling beruntung sedunia, huh?" gumamnya, meremas salah satu foto hingga kusut. "Sekarang lihat Lo. Tertabrak. Patah. Hancur."
Matanya menyipit. Ada rasa puas yang aneh saat mengingat sorot panik di mata Harry—cowok yang selama ini juga begitu peduli pada Aqeela. Reaksi itu... priceless.
Stephie berdiri, menatap cermin lagi, mengangkat wajahnya yang kini berbeda jauh dari masa lalu. Operasi itu mahal. Tapi sebanding. Wajah lama Stephie sudah terkubur, bersama masa kecil yang menyakitkan. Ia bukan anak kecil dengan luka batin lagi. Ia sudah jadi monster yang ia ciptakan sendiri.
"Gue bahkan harus ngubah muka gue cuma buat lo," ucapnya sambil menatap refleksinya sendiri. “Biar Noel nggak kenal. Biar bisa masuk dunia lo, dan lo nggak sadar.”
Dan memang berhasil.
Dari awal SMA, Aqeela nggak pernah tahu siapa dia. Nggak pernah sadar kalau orang yang sering duduk dua bangku di belakangnya, yang diam-diam selalu muncul di setiap sudut hidupnya, adalah gadis yang dulu ia kira cuma teman satu SD biasa.
Padahal... sejak SD, Stephie sudah mulai benci.
“Kenapa lo yang dapet semuanya?” bisiknya pelan. “Keluarga? Cowok? Teman? Bahkan kebahagiaan yang lo nggak sadar lo punya.”
Waktu kecil, Stephie tahu betul bagaimana rasanya lihat papanya pulang dengan wajah letih, lalu pergi lagi tanpa alasan. Dan suatu hari... dia pulang bawa perempuan lain. Bawa Mayang. Perempuan itu senyum manis, gandeng tangan anak kecil dengan pita pink di rambutnya.
Aqeela.
Anak dari perempuan baru yang berhasil merebut semua.
Michael, ayahnya, tidak pernah memanggil balik. Tidak pernah menengok. Bahkan saat Stephie ulang tahun ke-10, satu-satunya kado yang ia harapkan tidak pernah datang. Sementara Aqeela? Dirayakan. Dikasih pesta. Dikasih pelukan hangat.
Dan saat Stephie melihat Noel—satu-satunya anak cowok yang bikin dia percaya pada cinta waktu SD—membela Aqeela, itu jadi akhir dari semua empatinya.
"Sejak itu gue sumpah... lo nggak boleh bahagia. Nggak di SD, SMP, apalagi SMA."
Saat SMP, waktu Noel pindah ke sekolahnya, Stephie merasa itu tanda. Ia mulai deket, mulai mencoba jadi teman yang bisa dipercaya. Tapi cowok itu... selalu jaga jarak. Dia manis, iya, tapi nggak pernah bisa dimiliki.
Dan waktu Stephie tahu Noel akhirnya pindah lagi dari SMP itu, karena merasa "nggak nyaman ada yang terus ngikutin dia bahkan sampai rumah", Stephie justru makin yakin.
Obsesi bukan dosa.
Obsesi itu cinta.
Cinta yang belum sempurna.Makanya ia ikutin Noel sampai SMA. Dia operasi wajah. Pindah nama. Bikin cerita baru. Dan semua itu demi satu hal: menghancurkan Aqeela dari dalam, pelan-pelan.
Bukan cuma tubuhnya yang mau dia rusak—tapi hidupnya. Mentalnya. Dunianya.
Kecelakaan William?
"Yeah, itu cuma percobaan awal." Stephie terkikik pelan, lalu menggigit bibir. “Sayangnya, lo nggak ngerti-ngerti juga, Aqeela.”Semua kegilaan yang tak masuk akal itu... semua diatur. Dilakukan dengan sabar. Dan setiap kali Aqeela menangis di kelas, setiap kali ia jalan tertunduk karena dihujat teman... Stephie ada di sana. Duduk, pura-pura nggak tahu. Tapi diam-diam—tertawa.
"Apa lagi yang harus gue lakuin biar lo sadar... lo bukan siapa-siapa?"
Kini, dia tahu. Hari ini—kecelakaan itu—adalah konklusi sempurna.
Kalau rencananya berhasil, Aqeela nggak akan bisa menari lagi, berdiri lurus lagi, bahkan mungkin... jalan normal pun tidak.Dan itu baru awal.
Stephie membuka ponselnya, memutar ulang video amatir kecelakaan yang sudah tersebar di media sosial. Ia zoom wajah Aqeela. Detik saat tubuh itu terpental, lalu terdorong mundur oleh mobil yang ia kemudikan sendiri.
Satisfying.
Tak ada satu pun yang tahu. Tak ada yang curiga. Dan Aqeela? Gadis itu tidak pernah tahu ia sedang dilukai oleh masa lalu yang ia bahkan tidak ingat pernah ia sentuh.
“Lo lupa gue, tapi gue nggak pernah lupa lo.”
Dendam memang gila. Tapi kalau lo pernah ngerasa dibuang sama dunia—lo tahu, rasa itu lebih sakit dari apa pun. Dan melihat orang yang lo anggap perusak segalanya akhirnya hancur...
...itu seperti mendapat hidup lo kembali.
Stephie menutup laptopnya. Menarik selimut tipis.
Dunia boleh tidur malam ini. Tapi dia? Dia masih terjaga.
Menunggu.
Karena ini baru permulaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...