Langit mulai menggelap saat Aqeela duduk di bangku panjang dekat area terbuka pusat perbelanjaan kecil yang ramai oleh lalu-lalang orang. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, mewarnai jalanan dengan temaram jingga yang hangat.
Harry bilang dia cuma sebentar-mau beli sesuatu di minimarket dekat situ. Tapi sepuluh menit terasa seperti satu jam di kepala Aqeela. Rasa bosan menjalari jemari dan pikirannya. Deretan notifikasi di ponselnya di-swipe satu per satu, tapi tak satu pun yang benar-benar menarik perhatian. Semuanya hampa. Hanya membuatnya makin sadar betapa sepinya dirinya sendiri di tengah keramaian.
Aqeela bangkit, menggulung lengan jaket, lalu melangkah kecil menjauh dari tempat duduknya. Masih di area yang ramai, tapi dia ingin sekadar menggerakkan badan, menyusuri pinggiran trotoar yang dikelilingi toko-toko kecil. Musik dari kafe sebelah mengalun pelan, suara pengamen bersahutan dengan denting sendok dari kedai makan. Semua terasa... biasa saja. Terlalu biasa, bahkan.
Tapi yang tidak ia tahu, langkahnya sedang dipantau.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam diparkir dengan tenang. Mesin mati. Lampu redup. Tapi pandangan dari balik kemudi tajam-tak berkedip, mengikuti arah Aqeela berjalan. Bukan pengintaian sembarangan. Ini bukan tentang rasa penasaran. Ini tentang rencana. Tentang waktu yang dipilih dengan sangat, sangat tepat.
Aqeela berhenti sejenak di depan etalase toko bunga, membungkuk sedikit, lalu mengamati tangkai lavender yang dipajang rapi dalam vas kaca. Ia tersenyum kecil. Tidak sadar bahwa dari kejauhan, seseorang mulai menyalakan mesin mobil perlahan, nyaris tanpa suara.
Detik-detik yang tenang itu... ternyata hanya kedok sebelum kekacauan.
Harry baru saja melangkah keluar dari minimarket dengan kantong plastik di tangan, matanya langsung mencari sosok Aqeela. Tidak di bangku tadi. Ia menoleh ke kanan-tidak ada. Ke kiri-dan di situlah ia melihatnya. Aqeela, berjalan perlahan menyusuri trotoar, tepat beberapa meter dari sebuah persimpangan kecil yang bisa dilalui mobil.
Dan Harry melihatnya. Mobil itu. Mendekat dengan kecepatan ganjil. Terlalu cepat untuk ukuran tempat ramai seperti ini.
"Aqeela!" serunya.
Tapi suara itu tenggelam. Terlambat.
Dalam sekejap, semuanya terjadi terlalu cepat-dan terlalu lambat-di saat bersamaan.
Mobil itu menghantam Aqeela dari samping. Tubuhnya terpelanting. Suara keras itu memecah suasana. Orang-orang berteriak. Harry menjatuhkan kantong belanjaannya, berlari secepat yang ia bisa. Tapi sebelum ia sampai, mobil itu sempat berhenti-hanya untuk kemudian mundur dengan sengaja, ban belakangnya menyeret sebagian tubuh Aqeela yang masih tergeletak tak bergerak.
Jeritan terdengar dari mana-mana.
"Aqeela!!"
Harry akhirnya tiba. Napasnya kacau. Dunia terasa runtuh. Ia berlutut di samping tubuh gadis itu yang bersimbah darah. Pundaknya luka parah, kakinya tertekuk dalam posisi yang seharusnya tidak mungkin. Wajahnya pucat. Matanya setengah terbuka, tapi tidak fokus.
"Hey, hey-stay with me! Aqeela! Please! Denger suara aku ya! Bertahan, kamu kuat, kamu pasti kuat!"
Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel. Ia menekan tombol darurat, suaranya nyaris tidak keluar saat bicara dengan petugas.
Orang-orang mulai berkumpul. Beberapa mengambil video, yang lain memanggil keamanan. Tapi mobil pelaku sudah menghilang-mengendap, menyelinap di antara lalu lintas, tanpa plat yang jelas, tanpa satu pun jejak yang mudah dilacak.
Harry terus menekan luka Aqeela dengan jaketnya sendiri, mencoba menghentikan pendarahan.
"Aku di sini... aku nggak akan ninggalin kamu. Tolong bertahan. Ambulans bentar lagi datang, aku janji..."
Tapi Aqeela tidak merespons. Matanya mulai tertutup. Tarikan napasnya tidak lagi stabil.
Harry memanggil-manggil namanya seperti mantra, menahan air mata yang memaksa keluar. "Please, jangan tutup mata kamu. Jangan kayak gini..."
Beberapa menit kemudian, suara sirine membelah udara. Petugas medis datang, membawa tandu, memeriksa denyut nadi dengan cepat dan terkoordinasi. Mereka berbicara dengan kode yang tidak Harry pahami, tapi nada mereka cukup untuk menyalakan rasa takut di dadanya.
"Stabilkan. Siapkan oksigen. Kaki kiri patah, benturan cukup keras kemungkinan gegar otak ringan-mungkin lebih buruk."
Harry ikut ke ambulans. Matanya tak lepas dari tubuh Aqeela yang kini berbalut perban dan selimut darurat. Tapi di pikirannya, kejadian itu terus berulang, seperti rekaman rusak: mobil yang melaju, jeritan, suara hantaman, dan yang paling sulit dilupakan-momen saat mobil itu mundur, dan menabrak lagi.
Itu bukan kecelakaan.
Itu bukan ketidaksengajaan.
Itu niat.Di salah satu sudut kota, jauh dari lokasi kejadian, mobil hitam itu berhenti di garasi sebuah rumah tua yang tak berpenghuni. Pintu mobil dibuka perlahan. Sepasang kaki melangkah keluar, mendesis pelan. Tubuhnya tenang, seperti habis menyelesaikan tugas sederhana. Tapi wajahnya... kosong. Tanpa ekspresi. Dan tangannya sedikit gemetar-bukan karena takut, tapi karena puas.
Ia menatap bayangannya di kaca mobil. Mulutnya menyeringai kecil.
"Akhirnya."
*****
yang ngira kemaren konflik sebenarnya kalian salahhjujur kalian ngerasa gak si agz abis pensi kaya gimana ya... kaya boring aja gitu, bukan karena jarang banget sekarang ada asupan Harqeel (sebelum kurangnya asupan Harqeel tuh kan buvemm udah banyak ya ngasih asupan, mungkin itu buat persiapan ini kali ya) tapi lebih kaya alur nya lambat banget, kalian ngerasain juga ga?

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...