54. HARQEEL

3.4K 122 9
                                        

Rumah itu hening.
Jam dinding berdetak pelan, sesekali terdengar suara mobil melintas di kejauhan. Tapi di dalam, hanya ada sunyi.

Mayang duduk di meja makan yang sudah kosong sejak pagi. Cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh mulai kehilangan hangatnya. Ia menatap kosong ke arah piring rotinya, yang juga belum disentuh.

Pikirannya tidak ada di situ.
Bukan di meja makan, bukan di dapur, bukan di rumah ini.

Matanya masih menyimpan sisa air dari tangis pagi tadi. Saat ia masuk ke kamar Aqeela dan menemukan putrinya terbaring lemas, mata sembab, napas berat tapi tertahan seperti sedang menahan ribuan beban yang nggak pernah bisa diluapkan.

Hatinya hancur.

Sebagai seorang ibu, Mayang merasa gagal. Bukan karena dia nggak sayang. Tapi karena selama ini dia merasa nggak pernah benar-benar hadir.

Rumah ini... rumah yang seharusnya penuh tawa, penuh pelukan, malah jadi tempat yang dingin. Tempat di mana anak perempuannya menyimpan semua luka sendirian. Tempat di mana suara-suara kesedihan dipeluk diam-diam di balik dinding kamar.

Dan Mayang terlalu sibuk untuk melihatnya.

Suaminya, Michael, jarang pulang. Sibuk dengan proyek luar kota, urusan kantor, dan entah apalagi yang bahkan Mayang udah berhenti bertanya. Mereka masih suami istri, masih saling kabar... tapi bukan berarti saling mengisi.
Bukan berarti saling menemani.

Dan sekarang, dia sendirian. Di rumah ini. Menatap piring kosong. Dengan satu anak perempuan yang sedang patah—dan satu anak laki-laki yang bahkan tidak tinggal di rumah.

Firan.

Nama itu mengoyak batinnya setiap kali terlintas.

Anak laki-laki yang terlalu kecil untuk menanggung apa yang tubuhnya sendiri tidak bisa lawan. Firan, dengan penyakit autoimun langka yang membuatnya harus rutin kontrol ke dokter, dan akhirnya dititipkan ke rumah ibunya di pinggiran kota.

Bukan karena Mayang nggak mau merawat. Tapi karena dia harus tetap bekerja. Karena dia tidak bisa berada di dua tempat sekaligus.

Dan itu... menyakitkan.

Setiap malam, dia menyusul Firan lewat panggilan video. Tapi apa cukup? Apa layar ponsel bisa menggantikan pelukan ibu? Apa suara lewat speaker bisa menggantikan sentuhan di kepala saat anaknya demam?

Tidak.

Mayang tahu jawabannya. Tapi dia terlalu takut mengakuinya.

Lalu sekarang Aqeela.
Anak sulungnya yang selama ini dia pikir kuat. Mandiri. Ceria.
Yang kalau pagi selalu jadi yang pertama bangun, sudah pakai seragam, udah siap ke sekolah sebelum yang lain membuka mata.

Hari ini, semua itu hilang.
Aqeela nggak keluar kamar. Nggak bangun pagi. Nggak buka pintu.

Dan saat Mayang akhirnya masuk... dia melihat anaknya seperti bunga layu yang lupa disiram.

Bukan karena sakit fisik. Tapi karena dunia terlalu kejam untuk jiwanya yang sensitif.

Mayang merasa waktu kembali mundur. Ke saat dia pertama kali mendengar vonis dokter untuk Firan. Ke saat dia menyalahkan diri sendiri, berpikir penyakit itu datang karena kelalaiannya. Karena stress saat hamil. Karena terlalu banyak kerja. Karena dia nggak bisa jadi ibu yang benar.

Dan kini, rasa takut itu datang lagi. Tapi kali ini bukan lewat diagnosa medis—melainkan lewat luka emosional.

"What if Aqeela juga punya luka yang sama... tapi aku telat nyadar?"

Tangannya mencengkeram cangkir kopi yang sudah dingin.
Pikirannya melayang ke semua detik yang terlewat.
Semua senyum Aqeela yang mungkin palsu. Semua tawa yang mungkin hanya topeng.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang