53. HARQEEL

3K 96 0
                                        

Aqeela's pov

Kamar ini... terlalu sunyi.
Langit di luar cerah banget, tapi perasaan gue mendung. Nggak, bukan mendung kayak cerita-cerita mellow lebay yang suka pake metafora langit kelabu—this is worse.
Ini... kosong.

Kayak lo ngelihatin dunia tapi nggak ngerasa jadi bagian dari apa pun.

Jam dinding udah muter ke angka 10. Tadi pagi dokter datang, megang tangan gue, nanya-nanya soal pusing, soal mual, soal stress. Gue cuma iya-in semua.
Padahal bukan badannya yang sakit. Bukan fisik. Tapi kepala, hati, dan semuanya yang ngumpul di dada.

Sakitnya tuh... diam. Nggak bisa dijelasin pakai kata-kata.

Gue baring lagi, selimut narik sampai dagu. Harry dari tadi masih di pojokan kamar, duduk di bean bag warna hitam yang udah belel. Dia bawa laptopnya, tapi kayaknya dari tadi cuma scroll-scroll doang.

Sesekali dia ngelirik gue, tapi nggak ngomong apa-apa.
Dan gue appreciate itu. Karena kadang yang lo butuhin bukan nasihat, tapi kehadiran.

“Lo mau makan something nggak?” akhirnya Harry buka suara.
Suaranya pelan. Lembut.

Gue geleng.
“Lo bakal jadi hantu kalau lo nggak makan, Qeel,” dia coba bercanda.

I smirked a bit. “Maybe I already am.”

Harry bangkit, naruh laptop ke meja kecil deket tempat tidur. Dia berdiri di sisi gue dan nunduk sedikit. “Let’s go out.”

“Now?”

“Yeah. I know a place.”

“Harry…” Gue tatap dia, ragu. “Lo yakin ini ide yang bagus?”

“Lo yang butuh fresh air, bukan gue. Gue mah sehat, bahagia, dan cakep,” dia angkat alis dua kali, bikin gue nyengir kecil.

“Tapi—”

“No tapi-tapian. Ayo, ganti baju. Five minutes.”

Dan tanpa nunggu jawaban, Harry langsung keluar kamar.

Gue ngelirik kaca. Rambut gue berantakan, mata masih sembab, dan hoodie ini udah nggak karuan bentuknya. Tapi... maybe he’s right. Maybe I need to step outside.

Lima belas menit kemudian, gue udah duduk di boncengan motor Harry, pake jaket jeans dan masker biar nggak ada yang ngenalin.

Motor melaju pelan. Harry nggak ngomong apa-apa, cuma nyetel lagu dari headset bluetooth kecil yang dia colok ke helm. Lagu lama, mellow, tapi anehnya... adem.

“Where are we going?” gue tanya sambil nyender sedikit.

Harry senyum kecil. “Rahasia.”

Motor ngelewatin jalan-jalan kecil yang asing. Sampai akhirnya dia berhenti di pinggir danau kecil yang sepi banget. Di tengah kota, tapi kayak dunia lain.

Gue turun, ngeliatin air yang tenang. Angin semilir. Suara daun-daun jatuh. No cars, no people. Just... peace.

“Wow,” gumam gue.

“Right?” Harry duduk di rumput, nyender ke motornya. “Dulu gue sering ke sini waktu bokap nyokap ribut. Gue benci rumah, jadi I ran away. Ke sini.”

Gue ikut duduk di sebelahnya. “Why did you bring me here?”

“Karena lo kayak gue waktu itu. Benci semuanya, right?”

I nodded. Slowly. “It’s just... I don’t get it. Kenapa harus gue? Why do I always have to be the one yang nahan semuanya? Yang pura-pura kuat, yang pura-pura biasa aja? Gue capek.”

Harry dengerin. Nggak nyela.

“I saw William, and it crushed me, Har. Bukan karena gue cinta dia—God, no. Tapi karena dia pernah jadi rumah gue. The only person yang gue pikir bakal always stay. Tapi sekarang? Dia liat gue kayak stranger. Dan itu... hurts so damn much.”

Harry nyender lebih dalam ke motornya, mandangin langit. “Kadang orang yang paling bikin lo ngerasa di rumah, justru yang bakal ninggalin paling duluan.”

“Harsh.”

“Tapi real.”

Gue narik napas panjang. Mata mulai panas lagi. “Gue pengen marah, tapi ke siapa? Ke dia? Ke Tuhan? Ke diri gue sendiri?”

“Lo boleh marah. As much as you want. Tapi jangan simpen sendiri, Qeel. You’re not alone, oke? Ada gue. Noel juga. Even tante Mayang. They care about you.”

Gue diem. Kata-katanya masuk ke dada gue kayak pelan-pelan nusuk tapi juga nenangin.

“Thanks, Har.”

“Anytime.”

Setelah lama duduk, kita cuma diem. Angin terus berhembus, rambut gue agak berantakan, tapi entah kenapa… dada gue nggak se-sesak tadi pagi.

Langit makin biru. Hari makin siang. Tapi buat pertama kalinya hari ini...
Gue ngerasa napas gue bener-bener masuk sampai ke dalam.

Dan mungkin—mungkin aja—this pain won’t last forever.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang