51. HARQEEL

2.7K 85 0
                                        

Setelah kejadian di kafe itu, Aqeela kayak orang ilang. Jalan pulang dia tempuh sambil nahan napas, literally. Dada-nya sesak, kayak ada batu gede nempel di sana, and no matter how many times she tries to breathe, it just won’t go away.

Sampai di rumah, Aqeela cuma lempar tas ke sofa, lepas sepatu, terus ngeloyor ke kamar. Tapi bahkan tempat tidur yang biasa jadi pelariannya itu nggak ngasih rasa aman. Everything just felt... too much.

Tangannya masih gemeter. Wajah William — yang kelihatan familiar tapi juga asing — masih muter-muter di kepala. Cara dia mandang, cara dia senyum setengah nggak yakin... Itu bukan William yang Aqeela kenal.

Tapi juga, itu masih William. Masih cowok yang dulu suka bawa roti isi ke sekolah karena tau Aqeela suka lupa sarapan. Masih orang yang pertama kali ngajarin Aqeela caranya curi waktu tidur di kelas tanpa ketauan guru. Masih "abang" yang selalu ngelindungin dia, in his own weird way.

Tapi sekarang? He felt like a stranger with a familiar soul.

Pintu rumah diketuk. Pelan. Satu kali. Dua kali.

Aqeela males banget gerak, tapi akhirnya bangkit juga. Pas buka pintu...

"Lo kenapa sih nggak ngangkat HP?" Noel berdiri dengan hoodie abu-abu yang kedodoran dan satu cup es coklat di tangan.

Aqeela melotot. "Lo ngapain ke sini?"

"Nggak boleh?" Noel nyelonong masuk gitu aja. "Nyokap lo tadi bilang lo baru pulang, terus gue pikir... yaudah sekalian mampir."

"Gue capek, Noel," gumam Aqeela, nutup pintu pelan. Suaranya nyaris hilang.

Noel naruh cup es di meja, lalu ngelihatin Aqeela dengan tatapan serius. "Gue tau. That’s why I’m here."

Aqeela nahan napas. Noel duduk di sofa, santai, kayak rumah sendiri. Dan entah kenapa itu nggak bikin Aqeela marah. Dia justru... nyaman. Terlalu nyaman.

"Gue ketemu dia," kata Aqeela akhirnya, duduk di lantai, nyender ke meja. Tangannya mainin ujung karpet.

Noel diem sejenak. "William?"

Aqeela ngangguk. "Dia... Dia keliatan baik. Tapi juga beda. Kayak dia inget gue, tapi juga nggak. It’s messed up."

"You okay?"

"Of course not. Gue nggak ngerti kenapa rasanya kayak gini. Kayak... gue bukan kangen karena cinta. Tapi karena kehilangan. Because I lost someone who felt like home. Dan lo tau kan, gue nggak gampang ngerasa 'rumah' sama orang."

Noel nggak langsung jawab. Dia nyandar ke sandaran sofa, ngeliatin langit-langit. "Kadang kita nyari orang buat jadi rumah, padahal rumah itu udah lama kebakar. Yang tersisa cuma puing-puing. Tapi lo tetep ke sana, karena itu satu-satunya tempat yang lo inget bentuknya."

Aqeela ketawa miris. "That’s dark."

"Tapi lo ngerti maksud gue, kan?"

"Iya," Aqeela bisik. "Gue ngerti."

Hening lagi.

"Gue pengen bilang sesuatu," kata Noel tiba-tiba. Suaranya agak serak. "Tapi gue nggak yakin lo siap denger."

Aqeela noleh. "Tell me."

Noel natap dia, serius banget. "Apapun yang lo rasain sekarang, lo nggak harus ngerti semuanya hari ini. And you don’t have to pretend you’re okay in front of me."

Dan cuma dari kalimat itu, dada Aqeela yang tadinya penuh, sedikit lebih ringan.

-----

POV Aqeela

Why me?

Gue duduk sendirian di balkon kamar, sambil nyender ke dinding yang udah dingin kena angin sore. Langit hari ini terang, tapi kepala gue kusut, hati gue… jauh dari kata tenang.

Why is it always me in the middle of the mess? Kenapa harus gue yang terus-terusan ngerasain luka yang bahkan bukan gue yang mulai?

Gue bukan orang paling baik. I know that. Tapi gue juga bukan orang paling jahat. I never asked for this.

“Apa karena gue kuat? Jadi Tuhan pikir gue sanggup terus-terusan diginiin?” suara gue lirih, tapi jelas. Buat diri sendiri.

Kadang, I just wanna run away. Bener-bener pergi, jauh, dari semua yang bikin kepala gue penuh. Dari rasa yang gak pernah selesai. Dari William. Dari masa lalu. Dari rasa sayang yang masih tertinggal. Dari Flavio yang sekarang bahkan… udah gak bisa gue deketin tanpa inget kejadian-kejadian itu.

Dari Noel.

Noel yang selalu ada, tapi justru keberadaannya bikin gue makin bingung. Dan dari Harry, yang sekarang jadi titik terang baru—tapi gue belum siap ngasih semua sinar gue ke satu titik lagi.

“Capek, anjir,” gue nutup muka pake tangan. “Capek pura-pura baik-baik aja.”

Gue bukan robot. Gue punya batas. Gue juga pengen ngerasain yang orang lain rasain.

Love. Peace. A normal high school life. Tapi setiap gue mulai ngerasa tenang, selalu aja… selalu ada yang narik gue balik ke chaos.

“What am I to them? A memory? A lesson? A punishment?” gue ketawa hambar. “Or all of them?”

Gue bahkan gak tau siapa yang bisa gue percaya sekarang. Semua orang berubah. Bahkan gue sendiri. Dan yang paling ngeselin?

Gue gak bisa marah.

Gue gak bisa benci William. How could I? Orang yang udah hampir ilang dari hidup gue itu sekarang hidup lagi—tapi gak sepenuhnya sama. And that hurts even more.

Gue gak bisa marah ke Flavio. Karena… deep down, gue tau dia juga korban. Tapi tetap aja, luka yang dia bikin gak bisa ilang semudah itu.

Dan Noel… he’s still here. Tapi gue tau, dia lagi belajar buat jauh. I see that. Dan gue ngerti, tapi… sakitnya gak ilang juga.

Gue cuma pengen hidup normal. Gitu aja, tapi ternyata susah banget.

“When is it gonna be my turn to be happy?” gue bisik lagi.

Bintang mulai keliatan satu-satu, tapi hati gue masih gelap. Rasanya kayak stuck di tunnel yang gak tau ujungnya ada atau enggak. Tapi gue terus jalan. Mau ambruk pun, kaki gue tetep melangkah.

Because maybe… just maybe, di ujung sana, there’s a version of me yang akhirnya bisa bilang, “I made it.”

Tapi untuk sekarang?

Gue masih di sini.
Masih nanya hal yang sama.
Still wondering why it has to be me.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang