Part 38. Terlalu Besar

43K 258 44
                                        

"Nih, minumnya. Tadi katanya haus." Inaya meletakkan air putih dingin ke hadapan Tristan. Hanya dengan tiga kali tegukan seluruh isi dalam gelas sudah berpindah ke perut pria itu.

"Jam segini kok suami ibu belum pulang?" tanya Tristan sembari memasukkan cemilan yang disediakan Inaya ke dalam mulutnya.

Inaya kini sudah mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas. Jilbabnya juga sudah ia pakai karena rencananya setelah ini mereka akan pergi mencari kayu bakar.

"Lagi lembur kali," jawab Inaya cuek.

"Kok kali?"

"Ya emang ibu gak tau."

"Hmm, pasangan yang aneh," gumam Tristan namun masih bisa didengar Inaya.

Perempuan cantik itu pun melotot. "Apa kamu bilang?" Ia tak terima dirinya dibilang pasangan aneh. Namun Tristan hanya terkekeh melihat pelototan ibu gurunya yang menurutnya sangat lucu.

"Sekarang aja yuk, Bu! Nanti kesorean, udah mendung juga langitnya." Mata Inaya hanya mengikuti bangkitnya Tristan dari kursinya.

"Ya udah, yuk!" Inaya ikut bangkit. Sebenarnya ia mau menawari Tristan untuk makan dulu tapi ada benarnya apa kata Tristan. Waktu sudah sore dan cuaca juga seperti tidak begitu mendukung.

Mereka berdua berjalan ke kebun yang letaknya tak jauh dari rumah Inaya. Semoga saja mereka bisa mendapatkan kayu bakar yang cukup sebelum hujan turun.

Setelah sampai, Tristan memilah-milah kayu yang bisa digunakan untuk api unggun. Inaya hanya menemani sambil memperhatikan tangan tak Tristan yang cekatan.

Dalam hati ia kagum dengan bocah itu yang serba bisa. Dengan wajah yang tampan, badan berotot, serta keringat yang membasahi darinya membuat aura maskulin keluar dari tubuh Tristan.

Ia jadi membayangkan bagaimana jika dia berada di bawah kungkungan Tristan tanpa sehelai benangpun menutupi mereka. Dan dengan gentle Tristan menyentuh titik-titik sensitifnya.

"Bu, segini udah cukup belum, Bu?" tanya Tristan yang sudah mengumpulkan dan mensejajarkan batang kayu dengan ukuran yang sama.

"Bu, Bu!" panggil Tristan lagi karena Inaya diam saja. Sontak Inaya pun terkejut dan sadar dari lamunannya.

"Eh, iya gimana, Tan?" Inaya menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba mampir ke otaknya.

Tristan menghela nafas dalam sambil mencebikkan bibirnya. Kedua tangannya berada di pinggangnya sendiri. "Bukannya bantuin malah ngelamun. Ngelamun jorok lagi!"

Mendengar ucapan Tristan, Inaya tambah gelagapan karena tebakan Tristan sangat tepat. Tapi tentu saja dia kemudian protes.

"Ngawur, kamu! Siapa juga yang mikir jorok!" elak Inaya, tapi dia membuang muka untuk menutupi warna merah di wajahnya.

Tristan batuk untuk menahan tawanya yang hendak keluar melihat ekspresi lucu dari ibu gurunya. Sumpah dia ingin sekali mencubit pipi Inaya yang tampak menggemaskan kalau sedang salah tingkah.

Tiba-tiba tanpa aba-aba hujan turun dengan derasnya. Inaya panik lalu menghampiri Tristan yang sedang mengikat kayu yang sudah ia kumpulkan tadi.

"Ayok cepet, Tan! Hujannya deres banget!" pekik Inaya sembari menutupi kepalanya dengan telapak tangan.

"Kalo mau cepet bantuin napa," gerutu Tristan. Inaya yang sadar akhirnya membantu mengikat salah satu ujungnya dan Tristan mengikat ujung yang lain.

Hujan tambah deras yang membuat usaha mereka untuk secepatnya mengikat menjadi sia-sia. Mereka sudah basah kuyup.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang