Biasanya ia akan membeli bahan bahan itu di toko Julian seperti biasa, namun hari ini tokonya tutup karena orang tua Julian yang berada di luar kota dan laki laki itu pergi futsal. Jadi tokonya tutup sementara. Sebenarnya bisa saja ia menelepon Julian dan membuat laki-laki itu pulang untuk menyiapkan pesanannya, tapi Kinan tidak seberani itu untuk mengganggu waktu orang lain.
Setelah cuti kuliah di mulai, Kinan lebih sering membuka pesanan kuenya, tentu saja dengan masih menitipkan donat ke pasar meski tak sesering dulu. Berusaha mengumpulkan uang dari sana untuk biaya persalinannya nanti.
Ia melewati rak bumbu dapur, melirik cepat, lalu belok ke arah rak bahan kue. Sesekali menahan kantuk karena bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan dan merapikan dapur.
Saat sedang meraih satu pak dark chocolate, langkah Kinan terhenti. Di seberang lorong, beberapa meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya-Dokter Raga.
Pria itu sedang berbicara dengan seorang wanita berpenampilan rapi, dan di samping wanita itu berdiri seorang anak kecil laki-laki. Mereka tampak sedang berbincang cukup serius. Wajah Raga terlihat tegang, berbeda dari biasanya. Sedangkan si wanita, meski tersenyum, terlihat menyimpan banyak kata yang belum diucap.
Kinan cepat-cepat menunduk, berharap tak terlihat. Tapi matanya sempat menangkap sorot mata Raga yang menatap dalam ke arah wanita itu. Seolah ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Tak nyaman mengintip lebih lama, Kinan memalingkan muka dan pura-pura memilih pewarna kue. Namun pikirannya tak bisa diam. Anak itu, mungkinkah itu anak Raga?.
Ia menelan ludah. Dadanya terasa aneh. Lebih ke rasa was-was yang tak bernama, dan saat Kinan sedang berusaha mengatur napas dan kembali fokus ke daftar belanjaannya, suara langkah terdengar mendekat.
"Kinan?"
Ia menoleh spontan-dan benar saja, Raga kini berdiri di depannya, hanya berjarak satu meter. Wanita dan anak kecil tadi sudah tidak ada di belakangnya.
"Oh, halo, Dok" ucap Kinan, sedikit gugup, berusaha tersenyum seperti biasa.
"Kita ketemu lagi ternyata, lagi belanja bulanan?" tanya Raga, matanya menatap tote bag kain yang dibawa Kinan.
"Enggak, saya belanja buat bahan pesanan kue. Lumayan nambah tabungan" jawabnya ringan, mencoba terdengar biasa.
Raga mengangguk pelan. Tapi Kinan tahu, sorot mata itu masih menyisakan sedikit bayangan perbincangan sebelumnya. Ada yang belum lepas. Tapi ia tidak bertanya.
"Kamu jual kue ternyata" ucap Raga.
"Iya, modal resep mendiang ibu. Dulu dia yang sering buat, saya cuma nerusin"
Raga mengangguk pelan.
"Dokter udah selesai belanjanya?" Kinan melihat keranjang di genggaman Raga.
"Belum, mau belanja bareng?"
Dan disinilah mereka sekarang, setelah lelah memutari rak demi rak mencari barang kebutuhan yang mereka inginkan, Raga mengajak Kinan untuk berbincang sebentar di bangku taman supermarket.
Bangku yang sedikit lembap oleh embun pagi menjadi tempat persinggahan mereka. Di tangan Raga, segelas kopi hitam masih hangat mengepul. Sementara Kinan duduk di sampingnya dengan cokelat panas yang perlahan ditiup pelan sebelum diteguk.
"Tadi, saya ketemu mantan istri" ujar Raga membuka percakapan, nadanya tenang namun berlapis beban.
Kinan yang tadinya diam menengok sedikit terkejut dengan awalan topik yang Raga buka, namun dengan cepat ia membalikan keadaan wajahnya, tidak ingin memotong. Dan satu fakta yang Kinan tahu hari ini dari Raga adalah, ternyata pria ini seorang duda.
Raga melanjutkan, menatap kosong ke arah jalan setapak taman "Kami menikah hanya empat tahun. Tapi semuanya gak berjalan baik. Saya terlalu tenggelam dalam pekerjaan, terlalu berambisi mungkin. Sampai saat dia merasa sendirian di rumah yang seharusnya kami bangun sama-sama"
Kinan menunduk, memperhatikan uap dari minumannya yang mulai menipis. Membiarkan Raga membuka ceritanya.
"Saya pikir, saya lagi berjuang buat masa depan. Tapi ternyata saya kehilangan masa kini" suaranya pelan tapi tegas.
Raga menghela napas, lama.
Kinan menoleh pelan, menatap wajah Raga yang tampak lelah meski tak menunjukkan emosi berlebihan.
"Jadi Itu anak Bapak?"
"Kamu lihat?"
Kinan mengangguk kaku mengakuinya "Maaf saya lancang"
"Gak masalah lagian itu memang tempat umum. Dia bukan anak saya. Dia anak mantan istri saya dengan laki-laki lain, yang lebih perduli sama dia daripada saya" nada nya terdengar sesak.
Kinan menunduk mendengarnya, sangat buruk.
"Bapak masih sedih?" tanya Kinan perlahan.
"Dulu iya. Sekarang saya cuma belajar menerima. Meski ada bagian dari diri saya yang belum sembuh" balas Raga, meneguk kopinya sedikit.
Keheningan singkat menyusul, hanya terdengar angin menyapu dedaunan dan sesekali suara kendaraan dari jalan besar.
Kinan akhirnya berkata, suaranya pelan "Ya, saya liat Bapak lebih enjoy"
Raga menatap Kinan sejenak, lalu tersenyum. Kali ini lebih hangat. "Meski gagal menjadi suami tapi saya berjuang jadi manusia berguna dan lebih peka sekitar"
Kinan tidak menjawab. Tapi ia menatap ke depan, ke arah taman yang mulai ramai, dengan hati yang terasa sedikit berat-mengingat dirinya pun menyimpan kisah yang belum ia ceritakan.
"Maaf, saya malah cerita yang berat" Raga menurunkan pandangan. Tersadar atas keterbukaannya pada Kinan.
Kinan menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Mungkin emang ada hal-hal yang harus keluar supaya nggak terus jadi beban"
Raga tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lebih ringan.
Hingga udara pagi mulai menghangat, Raga masih duduk tenang. Menggenggam minuman hangat di tangan, namun ada kegelisahan di matanya yang belum sempat ia sampaikan.
Hingga akhirnya, ia memberanikan diri.
"Kinan" ucapnya hati-hati "Boleh saya tanya sesuatu?"
Kinan mengangkat alis, sedikit cemas namun tetap menatapnya "Boleh"
"Suami kamu, di mana? Saya selalu lihat kamu sendirian saat kontrol"
....
Please comment to imporeve it!
Thank you chéri 🧡
VOUS LISEZ
Once Again
Roman d'amourKejadian di satu malam mengubah segalanya dalam hidup Kinan, hingga ia harus menerima kehamilannya yang di luar rencana. Namun dunia seakan tak berpihak, masalah baru justru datang ketika ia bertemu dengan Raga, Dokter kandungannya. WARNING⚠️ Cer...
19. Bertemu
Depuis le début
