47. HARQEEL

2.7K 115 0
                                        


Di sebuah rooftop kosong di tengah kota, malam mulai jatuh perlahan. Gemerlap lampu dari gedung-gedung tinggi nyaris gak bisa ngalahin tenangnya suasana di antara dua orang yang duduk berdampingan.

Aqeela bersandar di pembatas besi, rambutnya diikat asal, hoodie kebesaran nutupin hampir setengah wajahnya. Di sebelahnya, Harry duduk dengan satu kaki naik ke atas beton, tangan kanan megang botol air, tangan kiri... nunggu.

Beberapa menit mereka cuma diem, dengerin suara angin dan klakson samar dari jalanan jauh di bawah sana. Sampai akhirnya Aqeela angkat suara, pelan tapi jelas.

“Gue mau lo bantu satu hal.”

Harry noleh. “Apa aja.”

“Berita-berita di luar sana. Tentang gue. Tentang dia,” kata Aqeela, matanya nanar ke arah langit. “Gue pengen semua itu dihapus.”

Harry gak kaget. Permintaan itu udah dia kira-kira. Dan buat dia, itu hal paling gampang di dunia. “Itu urusan kecil. Gue bisa kirim email sekarang juga, call-in beberapa nama, dan—”

“Tapi yang gak kecil,” Aqeela nyela, senyum kecut, “itu lambe sekolah. Circle nyinyir. Grup gosip. Celetukan-celetukan di lorong, tatapan, bisikan. Gue tahu itu gak akan hilang.”

Harry diem. Napasnya pelan, tapi matanya masih awas liatin Aqeela.

“Tapi lo gak takut,” katanya akhirnya.

Aqeela ketawa kecil, pahit tapi berani. “Kenapa harus takut? Mulut orang gak bisa gue atur. Tapi sikap gue bisa. Gue tahu siapa diri gue, Har. Dan gue tahu gue gak salah.”

Harry senyum tipis. Bangga, tapi juga... gemetar.

Lo kuat banget, Qeel, batinnya.

Dia ngeluarin ponsel, mulai ngetik sesuatu, lalu berhenti sebentar. “Lo mau semuanya bersih dalam waktu seminggu?”

Aqeela angguk. “Gue gak mau hidup gue ditulis orang lain. Gue yang nentuin narasinya.”

“Berarti... udah bener-bener tutup buku?”

“Udah.” Aqeela ngelirik Harry. “Tapi bukan nutup luka. Gue belajar berdamai.”

Harry ngangguk. “Oke. Gue beresin semuanya. Tapi lo juga harus janji.”

Aqeela ngernyit. “Apa?”

“Kalau nanti ada yang nyakitin lo lagi, bukan cuma berita yang gue bersihin. Tapi orangnya juga.”

Aqeela ketawa, kali ini lebih lepas. “Posesif banget.”

Harry nyender dikit, bahu mereka bersentuhan. “Gue cuma gak suka liat lo sendirian lagi.”

Mereka diem sebentar.

Sampai akhirnya Aqeela ngomong, “Lo tahu kan... gue gak minta diselamatin.”

Harry ngangguk. “Gue tahu. Tapi gue juga gak pernah pengen jadi pahlawan. Gue cuma mau ada.”

------

Keesokan harinya, sekolah masih berdetak dengan ritme yang sama: derap kaki, tawa palsu, dan bisikan yang gak pernah benar-benar hilang.

Lorong-lorong tetap ramai. Tapi ada sesuatu yang aneh. Bukan karena suasananya berubah drastis... justru karena semuanya tetap sama—hanya saja, sekarang lebih sunyi secara mencurigakan.

Bisik-bisik masih ada, tentu. Tapi bukan tentang Aqeela. Bukan juga tentang hal-hal spesifik yang dulu jadi topik panas.
Sekarang... banyak yang ngebahas soal “berita yang hilang.”

“Eh, lo nyadar gak sih, berita soal Aqeela ama Flavio tuh ilang semua?”
“Gue nyari di thread semalam, udah gak ada.”
“Gue udah save screenshotnya sih. Tapi aneh, itu ilang dari akun-akun utama.”
“Berarti... emang beneran kuat backing-an Aqeela, ya?”
“Enggak heran sih. Kan ada Harry juga.”

Nama Aqeela tetap disebut, tapi kali ini bukan sebagai korban atau pelaku gosip. Dia... lebih kayak hantu yang sulit dihapus tapi juga gak bisa disentuh. Semua orang masih penasaran. Tapi gak ada yang cukup berani buat nanya langsung.

Dan Aqeela?

Dia jalan seperti biasa. Mukanya tenang, langkahnya ringan. Hoodie kesayangannya nutupin sebagian wajah, dan ekspresinya datar tapi damai. Gak ada yang bisa nyentuh dia sekarang.
Bukan karena dia gak bisa dijatuhin—tapi karena dia udah gak peduli.

Di ujung lorong, seseorang berdiri sendirian.
Flavio.

Masih ada. Masih jadi bagian dari sekolah ini. Tapi jelas... bukan Flavio yang dulu. Dia gak lagi nyapa semua orang kayak sebelumnya. Gak lagi lempar senyum yang sok ramah.
Dia diem. Jalan cepat. Dada tegak. Mata tajam.

Dan ketika sekelompok cewek di pojok lorong mulai bisik-bisik sambil liatin dia—
“Oh my God, itu Flavio.”
“Berani banget dia masuk sekolah.”
“Muka tembok banget—”

Flavio berhenti.

Dia nengok pelan. Matanya ketemu sama si cewek yang baru ngomong.

“Ada masalah?”

Cewek itu langsung gugup. “Gak... gak ada.”

Flavio nyengir, bukan karena senang. Tapi karena puas.

“Bagus. Kalau ada, langsung ke gue. Jangan bisik-bisik kayak bocah TK.”

Lalu dia jalan lagi, dengan langkah yang bahkan lebih tajam dari tadi.

Flavio sekarang bukan tokoh utama gosip. Tapi dia juga gak lagi jadi penonton. Dia berdiri sendiri, tapi dia berdiri kuat. Gak lagi lari dari sorotan. Gak lagi pura-pura gak tahu.

Dan walaupun dia gak pernah lagi deket sama Aqeela, gak pernah ngobrol, gak pernah saling sapa—semua orang tahu, mereka sekarang berdiri di sisi yang sama: sisi yang pernah dijatuhkan... tapi gak pernah patah.

Flavio masih ada. Aqeela juga.
Dan semua yang pernah ngomongin mereka sekarang... cuma bisa nonton dari jauh.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang