── .✦ Dua puluh satu

7.2K 499 101
                                        

"Kamu belum makan, Arsa. Aku sudah buatkan makanan untukmu. Dimakan, ya?"

Liliana Tisya Daksina, atau yang akrab dipanggil Lili, berkata lembut. Gadis berambut panjang berwarna cokelat karamel itu menatap Arsa dengan sorot mata hazel, warisan dari sang ayah yang berdarah Belanda. Perpaduan darah Belanda dan Indonesia membuatnya terlihat unik, seperti lukisan klasik yang hidup.

Sejak Arsa siuman, Lili sering menjenguknya. Ia membawa makanan setiap hari, namun sedikit pun kehadirannya tak pernah dilirik oleh tunangannya itu.

Lili mengambil satu sendok nasi dan menyodorkannya pada Arsa yang asyik menatap ponselnya. Arsa hanya melirik sekilas. "Gue nggak laper. Lo bisa buang itu ke tempat sampah."

"Kamu makan biar nggak sakit, Arsa."

"Ya, gue sakit ketemu lo. Gara-gara perjodohan itu gue nggak pernah baik-baik aja." Arsa menyandarkan tubuhnya ke bantal, menatap langit-langit dengan sorot mata dingin. "Pernikahan kita cuma kesepakatan. Lo nggak usah peduliin urusan gue, mending diem aja."

"Tapi aku suka sama ka—"

Arsa mendengus. Ia menyentak kasar wadah makanan dari tangan Lili. Wadah itu jatuh, makanan berserakan di lantai kamar inap yang semula bersih. Lili terdiam, menatap lantai dengan mata berkaca-kaca.

"Lo suka sama gue karena gue pernah nganterin lo ke kampus waktu kita maba? Semudah itu lo suka sama gue? Harus berapa kali gue bilang kalau gue udah punya cewek yang gue suka."

Arsa menggeleng tak percaya. Baginya, Lili tak lebih dari batu loncatan agar hubungannya dengan Lyora tetap tersembunyi.

Karena membatalkan pernikahan yang akan diadakan dalam waktu dekat bukanlah hal bagus, semua akses hartanya akan disitu oleh ayah. Dan Beby tidak akan tinggal diam, Mama pasti akan terus membuat onar pada keluarga Lyora, memfitnah jika Lyora adalah orang ketiga yang merusak pernikahan mereka.

"Mau nikah sama gue? Oke, gue turutin," Arsa menyeringai sinis. "Tapi lo harus ikutin semua perintah gue. Kalau gue bilang diem, lo diem. Kalau gue bilang senyum, lo senyum. Buktiin ke semua orang kalau lo bahagia nikah sama gue."

Lili meringis saat Arsa mencengkeram rahangnya. Mata Arsa berkilat penuh emosi. Lili mencoba melepaskan diri sambil terisak.

"Aku dengar dari Raka kalau Lyora, mantan kamu itu... udah nggak ada perasaan sama kamu."

Arsa mencibir, bibirnya tertarik membentuk senyuman pahit. "Raka? Jangan sok tahu. Raka itu sahabat gue, dia nggak bakal ngomong sembarangan." Suaranya rendah namun penuh tekanan.

Lili menelan ludah, mencoba mengendalikan rasa sesak di dadanya. "Tapi aku lihat sendiri, Lyora... dia nggak pernah datang lagi sejak kamu kecelakaan. Apa dia bahkan tahu kamu di sini?"

"Itu bukan urusan lo," sahut Arsa cepat. Ia mendengus, lalu berbalik, membelakangi Lili seolah tak ingin melihat wajah gadis itu lebih lama lagi. "Kalau lo udah selesai ngerepotin diri lo sendiri, lo boleh pergi sekarang."

Lili mengepalkan tangannya erat-erat. Air matanya menggenang namun tak ia biarkan jatuh. Ia mengangguk pelan. "Baik, aku pergi."

Ia meraih wadah makan yang berantakan di lantai, lalu perlahan berdiri. Namun, sebelum ia sempat keluar dari kamar, Arsa bersuara lagi.

"Dan satu lagi, Lili... Jangan pernah bilang soal Lyora lagi di depan gue. Gue nggak peduli siapa yang bilang apa. Lo cuma perlu inget satu hal, lo nggak akan pernah bisa gantiin Lyora."

Kata-kata itu bagaikan pisau yang menancap di hati Lili. Gadis itu menggigit bibirnya, menguatkan diri sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Begitu pintu tertutup, Arsa meremas ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih.

That Naughty Monster is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang