── .✦ Sembilan belas

9.7K 689 82
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


12 Years Ago.

Draeven saat itu baru berusia 16 tahun. Ia baru saja menginjakkan kaki di Hutan Rimba Senja untuk pertama kalinya—sebuah destinasi yang sengaja mereka pilih untuk kabur sejenak dari kekacauan Vaelthor, Kerajaan yang dipimpin ayahnya. Bersama Kael yang susah diatur dan tajam pengamatannya.

Langit di atas hutan berwarna biru muda dengan semburat keemasan. Matahari menyusup di sela dedaunan yang mulai menguning dan kemerahan, menebarkan cahaya hangat yang menari-nari di tanah. Angin sepoi menggoyangkan cabang-cabang pohon tua, menerbangkan beberapa helai daun yang melayang perlahan seperti serpihan kenangan.

Jejak kaki mereka menyusuri tanah berlapis daun kering yang renyah, memunculkan suara gemerisik yang lembut di bawah sepatu bot.

Draeven berdiri di batas masuk hutan. Mata hitam kelamnya, tajam seperti tebasan belati, menyapu sekeliling.

"Ini tempatnya?" tanyanya tanpa menoleh.

"Ya," jawab Kael pelan. "Tempat yang mereka bilang seperti dongeng, dan sekarang aku mulai paham kenapa."

Draeven melangkah duluan. Suara langkahnya menyingkap dedaunan kering, terdengar seperti bisikan lembut. Setiap langkah terasa seperti mengetuk pintu dunia lain yang ramah namun misterius.

"Ini kedua kalinya aku ke sini. Dulu siang juga, tapi sekarang suasananya jauh lebih tenang."

"Apa yang mereka lakukan waktu itu?" tanya Draeven.

"Hanya kata liburan yang aku tangkap."

"Manusia selalu melakukan hal yang tidak berguna."

Kael terkekeh sinis. Ia menyusul langkah Draeven yang sudah mulai menjauh.

Setiap ranting atau dahan yang menghalangi jalan mereka, Draeven singkirkan cepat dengan tangannya yang memercik api kecil—sekilas terlihat seperti kilatan oranye yang serasi dengan warna musim.

"Aku benci tempat seperti ini," celetuknya, meski tatapannya menelusuri cahaya yang menembus kanopi dedaunan.

"Jalan bersamamu itu seperti membawa nenek-nenek, serba salah. Kau memintaku mencari tempat sepi untuk latihan fisik, sekalinya ada, kau membencinya," cibir Kael sambil menguap dan terus mengikuti langkah Draeven.

Sekitar lima belas menit. Langkah Draeven terhenti. Ia menatap ke atas, terpukau oleh pemandangan dedaunan merah keemasan yang perlahan jatuh seperti salju lembut musim gugur, menyelimuti dunia dalam warna hangat yang nyaris tak nyata.

"Pohonnya lebih besar dibanding yang lain, bukan?" Kael menoleh kesampingnya. "Saat pertama kali kesini, aku juga tertarik pada pohon ini. Kurasa belum ada yang menyentuhnya sama sekali tapi lambat laun pasti akan ada tangan-tangan jahil yang akan merusaknya."

"Tinggalkan aku disini, kau boleh pergi sekarang."

Kael menatap datar. "Menyesal aku sempat memberitahumu."

That Naughty Monster is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang